Senin, 30 Januari 2012

Fadhilah Asmaul Husna




1.       Seluruh Asma Allah adalah husna, artinya Maha Indah.
Firman Allah:
وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu. (QS. Al A'raaf :180) 
Asma Allah Maha Indah dan sempurna karena tidak terkandung di dalamnya kekurangan sedikitpun, baik secara eksplisit maupun implisit. Contohnya:   العليم  (Yang Maha Tahu) salah satu asma Allah  yang mengandung sifat 'ilmu' (pengetahuan) yang sempurna, tidak didahului oleh sifat kebodohan dan tidak pula dihinggapi sifat lupa. 

Firman Allah:
قَالَ عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي فِي كِتَابٍ لاَّيَضِلُّ رَبِّي وَلاَيَنسَى
Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku, di dalam sebuah kitab, Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa; (QS. Thaha :52)
Ilmu pengetahuan Allah maha luas, meliputi segala sesuatu, baik secara umum maupun rinci, berkenaan dengan perbuatan Allah I sendiri maupun makhlukNya.

Firman Allah:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ
Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS Al An'aam:59)
Dan firman Allah:
   وَمَامِن دَآبَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِين
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Huud:6)

Kedua ayat di atas memberikan penjelasan secara nyata bahwa tidak ada sesuatupun di alam semesta ini yang terlepas dari ilmu Allah yang Maha Luas dan tanpa batas. Itulah kesempurnaan dan keindahan ilmu Allah. Demikian pula sifat-sifat Allah yang lainnya, semuanya indah dan sempurna.

2. Asma Allah adalah nama dan sifat.
Nama dipandang dari indikasinya (dalalah) kepada dzat dan sifat dipandang dari indikasinya kepada makna. Dari pengertian pertama, maka seluruh asma adalah mutaradif (sinonim), karena indikasinya hanya kepada satu dzat, yaitu Allah, sedangkan dari pengertian kedua, maka semua asma Allah adalah mutabayinah (diferensial), karena setiap asma mempunyai indikasi (dalalah) makna yang tersendiri. Contohnya:
الحي  العليم  القدير  السميع  البصير  الرحمن الرحيم
Semuanya adalah asma untuk satu Dzat, yaitu Allah. Akan tetapi makna  الحيي  tidak sama dengan makna العليم  dan العليم  tidak sama dengan makna  القدير  demikianlah seterusnya.
Asma Allah disebut nama dan sifat berdasarkan petunjuk dari Al Quran, seperti firman Allah:
وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Yunus: 107)
dan firman Allah:
وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ
Dan RabbmulahYang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat.. (QS Al Kahf :58)
Ayat yang kedua dengan jelas menunjukkan bahwa Ar Rahim yaitu yang mempunyai sifat rahmah.
Selain itu, berdasarkan konsensus para ahli bahasa dan adat kebiasaan, bahwa tidak dikatakan 'alim kepada orang yang tidak mempunyai ilmu, tidak dikatakan sami' kepada orang yang tidak mempunyai pendengaran, tidak dikatakan bashir kepada orang yang tidak mempunyai penglihatan, dan demikian pula seterusnya.

3. Asma Allah, jika menunjukkan pengertian transitif (muta'adii), maka mengandung tiga hal:
Pertama: ketetapan asma tersebut untuk Allah.
Kedua: ketetapan sifat yang dikandung oleh Asma ini untuk Allah.
Ketiga: Ketetapan hukumnya dan tuntutannya (objek) dari sifat tersebut.
Contoh nama  السميع   (Maha Mendengar), mengandung ketetapan nama ini untuk Allah, ketetapan bahwa Allah mempunyai sifat 'sama' (mendengar), dan ketetapan hukum dan tuntutannya (objek), yaitu segala bisikan dan kata-kata rahasia serta segala bunyi yang selalu didengar oleh Allah, sebagaimana firmanNya:
وَاللهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَآ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al Mujadilah:1)

Akan tetapi jika nama Allah menunjukkan makna intransitif (lazim), maka hanya mengandung dua hal:
Pertama: ketetapan nama tersebut untuk Allah.
Kedua: ketetapan sifat yang dikandung oleh makna ini untuk Allah. Contoh: nama ' الحي ' (Yang Maha Hidup) mengandung ketetapan bahwa nama ini untuk Allah dan ketetapan adanya sifat 'hayah' (hidup) bagiNya.

4. Asma Allah adalah tauqifiyyah, yaitu berdasarkan pada wahyu, akan tidak mempunyai peran di dalamnya.
Oleh karena itu, dalam masalah asma` ini harus berlandaskan Al Quran dan Sunnah yang shahih, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi, karena akal saja tidak mungkin dapat mengetahui asma yang dimiliki oleh Allah. Untuk itu wajib berpijak kepada nash. Firman Allah:
وَلاَتَقْفُ مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al Isra: 36)
Selain itu, memberikan nama kepada Allah dengan asma` yang tidak ditetapkan oleh Allah bagi diriNya sendiri, atau mengingkari Asma Allah adalah pelanggaran terhadap hak Allah. Maka, wajiblah berlaku sopan dalam masalah ini dan cukup dengan mengikuti apa yang datang dari nash.

5. Asma Allah tidak terbatas pada bilangan tertentu, berdasarkan sabda Rasulullah:
مَا أَصَابَ مُسْلِمًا قَطُّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ اللّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَاْبنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي فِى يَدِكَ مَاٍض فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاءُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ  أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِي وَجلاَءَ حُزْنِي وَذهَابَ هَمِّي إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحًا
'Tidak ada duka cita dan kesedihan yang menimpa seorang muslim, lalu ia membaca: 'Ya Allah sesungguhnya aku adalah hambaMu dan putra dari jariyahMu, ubun-ubunku berada di tanganMu, berlaku padaku hukumMu, sangat adil padaku keputusanMu, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asmaMu, yang telah Engkau namakan untuk diriMu, atau Engkau turunkan dalam kitabMu,  atau engkau ajarkan kepada seseorang di antara makhlukMu, atau masih dalam rahasia gaib padaMu, yang hanya Engkau sendiri yang mengetahuinya, agar Engkau jadikan Al Quran sebagai penyejuk hatiku, pembersih sakit hatiku, dan penghapus kesedihanku,' melainkan Allah menghilangkan kesedihan hatinya dan menggantikan tempat duka citanya menjadi kebahagiaan.'
Dia menjadikan asmaNya menjadi tiga bagian:
1.     Nama yang Dia berikan untuk dirinya dan Dia beritahukan kepada para malaikatNya atau yang lainnya, namun nama-namaNya tidak disebutkan dalam kitabNya.
2.    Dia menurunkan nama itu dalam kitabNya dan memberitahukan kepada hamba-hambaNya.
3.     Yang menjadi rahasia gaib padanya dan hanya Dia sendiri yang mengetahuinya, tidak ada seorangpun di antara makhluk yang mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi bersabda: "Ista`tsarta bihi" artinya hanya Engkau yang mengetahuinya. Dan berdasarkan ini Nabi r bersabda dalam hadits syafaat:
فَيُفْتَحُ عَلَيَّ مِنْ مَحَامِدِهِ بِمَا لاَ أُحْسِنُهُ اْلآنَ
"Maka dibuka kepadaku (untuk mengungkapkan) segala pujian kepadaNya dengan pujian yang tidak bisa saya ungkapkan dengan baik di sini (di dunia)."
Dan dalam hadits yang lain:
لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
"Aku tidak bisa menghinggakan pujian kepada-Mu seperti Engkau memuji terhadap diriMu." 

Adapun hadits yang berbunyi:
إِنَّ ِللهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدَةً مَنْ أَحْصَاهَا َدخَلَ الْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barangsiapa yang dapat menghitungnya niscaya ia masuk ke dalam surga."
Yang dimaksud dengan menghitung asma Allah ialah menghapalnya, memahaminya maknanya, dan menghamba kepada Allah berdasarkan asma-Nya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa asma Allah hanya 99 saja. Adapun makna hadits yang berbunyi "barangsiapa yang dapat menghitungnya niscaya ia masuk ke dalam surga" merupakan kalimat pelengkap, bukan kalimat terpisah dan berdiri sendiri. Sebagai contoh: bila seseorang berkata: 'Saya mempunyai uang Rp. 100.000.000 yang saya siapkan untuk sedekah', berarti bisa saja ia mempunyai uang selain RP. 100.000.000 yang disiapkan untuk berbagai macam keperluan lainnya. Adapun yang berkenaan dengan penyusunan dan penentuan jumlah asma` Allah I, maka hadits tersebut adalah dha`if (lemah) jadi tidak bisa menjadi hujjah.

6. Ilhad (mengingkari) asma Allah ialah tindakan menyelewengkan asma` dari kebenaran yang wajib dilaksanakan terhadapnya.
Macam-macam ilhad:
a.    Mengingkari sesuatu dari asma Allah, sifat dan hukum yang terkandung di dalamnya. Seperti tindakan kaum Jahmiyah dan golongan lain dari ahli ta'thil. Menurut mereka, sesungguhnya asma` adalah lafazh yang kosong, tidak mengandung sifat dan makna. Mereka memberikan nama kepadaNya as-Sami`, al-Bashir, al-Hayy, ar-Rahim, al-Mutakallim,  dan al-Murid. Namun mereka mengatakan: Tiada kehidupan bagiNya, tiada pendengaran, tiada penglihatan, tiada perkataan, tiada kehendak yang berdiri denganNya. Ini adalah ilhad paling besar pada asma`, baik secara akal, syara`, bahasa, dan fithrah.
b.   Menjadikan asma` Allah  mempunyai indikasi (dalalah) yang serupa dengan sifat makhluk. Seperti tindakan ahlu tasybih (antropomorphism). Golongan ini adalah kebalikan dari golongan pertama yang mengingkari sifat Allah dan menolak sifat kesempurnaanNya.
c.   Menamai Allah dengan nama yang tidak disebutkanNya untuk diriNya dan tidak disebutkan oleh RasulNya dalam hadits yang shahih. Seperti tindakan kaum Nasrani yang menamaiNya 'Bapa' dan tindakan filosof yang menyebutNya 'Al`ilah al-Fa`ilah' (Efficient Cause). Karena Asma` Allah adalah tauqifiyah, maka menamai Allah yang bukan berasal dari Allah atau dari RasulNya, berarti menyelewengkan Asma Allah dari kebenaran.
d.     Mengambil dari Asma Allah nama untuk berhala. Seperti tindakan kaum musyrikin yang menamai berhala mereka dengan nama al-'Uzza berasal dari al-'Aziz dan berhala al-Laatal-Ilah. yang berasal dari
Ilhad dengan segala macamnya adalah haram, karena Allah mengancam orang yang berbuat ilhad dengan firmanNya:
وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'raaf : 180)
e.    MensifatiNya dengan sifat yang Dia Maha Besar dan Maha Suci dari sifat kekurangan, seperti perkataan Yahudi yang paling jahat: "Innahu faqiir (bahwasanya Dia fakir) dan perkataan mereka bahwa Dia beristirahat setelah menciptakan makhlukNya. Dan perkataan mereka:
يَدُ اللهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا
Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (QS. Al-Maidah:64)
Dan perkataan-perkataan serupa dengan itu termasuk ilhad pada Asma` dan sifat Allah.

7. Dilalah Asmaul Husna.
Seluruh asma` Allah adalah husna, artinya Maha Indah dan semuanya menunjukkan kesempurnaan dan pujian yang absolut. Seluruhnya diambil dari sifat-sifat-Nya. Maka sifat yang ada padanya tidak menafikan 'alamiyah (nama) dan 'alamiyah tidak menafikan sifat, dan dilalahnya (indikasinya) ada tiga:
a.   Dilaalah muthabaqah (adekusi), ketika kita tafsirkan nama dengan seluruh yang ditunjukkannya.
b.    Dilaalah tadhamun (inklusi), ketika kita tafsirkan dengan sebagian yang ditunjukkannya.
c.    Dan dilaalah iltizam (konsekuensi), ketika kita menunjukkannya atas yang lainnya dari asma` (nama-nama) sebagai konsekuensi nama ini atas nama-nama yang lain.
Misalnya: ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), yang menunjukkan adanya sifat rahmah dan Dzat adalah dilaalah muthabaqah (adekusi), dan atas salah satunya adalah dilaalah tadhamun (inklusi) karena ia termasuk dalam kandungannya. Dan indikasinya atas Asma`yang tidak didapatkan sifat rahmat kecuali dengan tetapnya Asma` tersebut, seperti hayat (hidup), ilmu (pengetahuan) iradah (kehendak), qudrat (kekuasaan) dan yang lainnya adalah dilaalah iltizam (konsekuensi). Bagian yang terakhir ini memerlukan pemikiran yang kuat dan perenungan. Para ahli ilmu berbeda pendapat dalam hal ini. Maka jalan untuk mengenalnya adalah ketika anda memahami lafazh (kata) dan makna yang terkandung di dalamnya dan anda memahaminya dengan baik, maka pikirkan maknanya yang tidak akan sempurna tanpa makna tersebut.

8. Asma Allah dan sifat-sifatNya hanya untukNya, dan persamaan nama tidak menunjukkan persamaan yang diberi nama.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Allah menamakan diriNya dengan beberapa nama dan menamai sifat-sifatNya dengan beberapa nama. Apabila Asma tersebut diidhafahkan (disandarkan) kepadaNya maka asma itu hanya untukNya, tiada sesuatupun yang menyekutuiNya pada sifat itu. Dia juga memberi nama kepada sebagian makhlukNya dengan beberapa nama yang hanya untuk mereka. Persamaan nama tidak menunjukkan persamaan yang diberi nama. Allah  menamai diriNya Hayy (Yang Maha Hidup) dalam firmanNya:
اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhlukNya); (QS. Al Baqarah :255)
          Dan Dia memberi nama kepada sebagian hambaNya Hayy (yang hidup) dalam firmanNya:
يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ
Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup (QS. Ar Ruum:19)
Pengertian al-Hayy (yang hidup) dalam surah ar-Rumm ini tidak seperti pengertian al-Hayy (Yang Maha Hidup) dalam surah al-Baqarah yang disebutkan sebelumnya.


Dalam ayat lain, Allah menamakan diriNya 'Aliim, Haliim (Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun), dan Dia memberikan nama kepada sebagian hambaNya dengan nama 'Aliim, seperti dalam firmanNya:
وَبَشَّرُوهُ بِغُلاَمٍ عَلِيمٍ
dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan  kelahiran seorang anak yang alim (Ishak). (QS. Adz Dzariyaat :28)
Maksudnya: Nabi Ishaq. Sebagaimana Dia juga menamai yang lain Halim, seperti dalam firmanNya:
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيمٍ
Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS. Ash-Shaaffaat :101)
Maksudnya: Ismail. 'Aliim dalam ayat di atas bukan seperti al-'Alim yang merupakan asma` Allah, dan Halim dalam ayat di atas bukan seperti pengertian al-Halim yang merupakan salah satu dari asma Allah.
Dan Allah  menamakan diri-Nya Samii' dan Bashiir dalam firman-Nya:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisaa`:58)
Dan Dia  menamai sebagian makhluk-Nya dengan nama 'samii' dan bashir' dalam firmanNya:
إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al-Insaan :2)
As-Samii' dalam ayat ini bukan seperti as-Samii' yang merupakan salah satu dari asma` Allah yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Demikian pula al-bashiir dalam ayat ini tidak sama pengertiannya dengan al-Bashiir yang merupakan salah satu asma` Allah I yang dalam surah an-Nisaa` yang disebutkan sebelumnya.


Dia  menamai diri-Nya dengan nama ar-Ra`uf dan ar-Rahim, seperti dalam firman-Nya:
إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفُُ رَّحِيمُُ
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah:143)


Dan Dia  memberi nama kepada sebagian makhluk-Nya dengan nama ar-Ra`uf ar-Rahim dalam firmanNya:
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu'min. (QS. At-Taubah:128)
Sifat ar-Ra`uf pada ayat sebelumnya tidak seperti sifat ra`uf pada ayat ini, dan sifat Rahimrahim para ayat ini.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: 'Nama-nama yang digunakan kepada Allah I dan kepada hamba, seperti al-Hayy, as-Samii', al-Bashiir, al-'Aliim, al-Qadiir dan yang semisalnya, ada tiga golongan dalam memandangnya:
a.     Segolongan dari mutakallimin berkata: ia adalah hakikat pada hamba dan majaaz pada Rabb. Ini adalah pendapat kaum Jahmiyah yang ekstrim. Ini adalah ucapan yang paling keji dan paling merusak.
b.     Pendapat sebaliknya, nama-nama itu adalah hakikat pada Rabb, majaaz pada Rabb. Ini adalah pendapat Abul-Abbas an-Naasyi.
c.    Sesungguhnya nama-nama itu adalah hakikat pada Rabb dan hamba, dan inilah pendapat ahlus-sunnah. Perbedaan dua hakikat pada keduanya tidak mengeluarkannya dari kondisinya yang merupakan hakekat pada keduanya. Bagi Rabb dari nama-nama itu yang sesuai dengan kebesaran-Nya, dan bagi hamba dari nama itu yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai hamba.

9. Urutan menjaga (menghapal, memahami dan mengamalkan) Asma Allah Yang Maha Indah. Barangsiapa yang menjaganya niscaya masuk surga.
Ini adalah keterangan penghapalan asmaNya 'barangsiapa yang menghapalnya niscaya masuk surga'.
Pertama: menghapal lafazh dan bilangannya.
Kedua : Memahami makna dan yang diindikasikannya.
Ketiga: Berdoa dengannya, seperti firman Allah:
وَللهِ اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu. (QS. Al A'raaf:180)
Terdapat dua martabat: pertama, adalah memuji dan beribadah. Kedua, do'a meminta dan memohon. Dia tidak dipuji kecuali dengan asmaNya Yang Husna dan SifatNya Yang Maha Tinggi. Demikian pula Dia  tidak diminta kecuali dengannya. Tidak boleh berdo'a dengan kata-kata: 'Hai yang ada (maujud), hai sesuatu, atau hai Dzat ampuni dan kasihilah aku'. Tetapi Dia diminta dengan nama yang sesuai dengan permintaan. Yang Berdo'a bertawassul kepadaNya dengan nama itu. Siapa yang memikirkan do'a para rasul, apabila doa Nabi Muhammad, ia akan mendapatkan doa-doa tersebut sesuai dengan penjelasan di atas.

Kita memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing kita kepada cahayaNya dan memudahkan jalan bagi kita untuk mendapatkan keridhaanNya, sesungguhnya Dia sangat dekat dan Maha Mengabulkan doa hambaNya.

Biografi dan karya KH. Badawi Hanafi Kesugihan (Niat Ingsung Ngaji veri Latin)


Sekila Sejarah Simbah
KH. Badawi Khanafi
1)   Kelahiran
Beliau KH. Badawi Hanafi lahir di kampung Brengkelan, kecamatan Purworejo,  Kabupaten Purworejo,  Jawa Tengah sekitar  tahun 1885 M.
2)   Nasab
Nasab beliau adalah KH. Badawi Hanafi bin KH. Fadlil bin H. Asyari (Sengari) bin Soyudo bin Gagak Handoko bin Mbah Bedug (Keturunan Mataram/Yogya).
Ayah beliau, KH. Fadlil adalah seorang pedagang pakaian, dilahirkan di kota Purworejo, Jawa Tengah + Tahun 1847. Beliau berbadan tinggi besar, berkumis, berjenggot panjang, dan bersimbar (dada berambut).
Mbah KH. Fadlil dikenal sebagai sosok yang rapi, sangat khusyu' dalam beribadah,  suka berdzikir. Walaupun waktu berjualan dipasar, beliau tidak pernah lepas dari tasbihnya.
Beliau juga dikenal sebagai sosok yang ramah kepada siapapun, tawadu` dan juga suka menolong kepada fakir miskin, dan suka memberikan pinjaman kepada pedagang-pedagang kecil dengan tidak minta keuntungan sedikitpun dari pinjaman yang diberikan. Tidak suka menagih pinjaman walaupun beliau memerlukannya
Pekerjaan sehari-hari beliau adalah berdagang kain. Beliau suka berdakwah Islamiyyah, sehingga sambil berjualan, beliau melaksanakan dakwah.
Mbah KH. Fadlil berasal dari Purworejo, kemudian hijrah ke Kesugihan pada tahun 1910 dan bertempat tinggal di sebuah dusun di desa kesugihan yang benama Salakan, tepatnya di sebelah utara lapangan sepak bola Kesugihan sekarang. Pada tahun 1914 beliau pindah kedusun Platar, sebelah selatan stasiun Kereta Api jurusan Cilacap (atau sebelah utara komplek Raudhotul Qur`an (RQ) putra PPAI sekarang)
Pada tahun 1923, hari Selasa Manis, tanggal 28 Ramadlan terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat, banyak pohon besar yang tumbang, rumah banyak yang roboh, termasuk stasiun kereta api Maos. Atas pertolongan Allah SWT, langgar duwur yang didirikan oleh KH. Fadlil tetap tegak termasuk gentingnya tidak  ada yang patah atau jatuh, pada waktu itu langgar duwur sedang ditempati untuk pengajian oleh Kyai Muda Badawi, putra laki-laki kedua dari mbah KH. Fadlil. 
Adipati Cilacap pada waktu itu R. Cakra Wardaya menyempatkan untuk meninjau tempat-tempat yang terkena musibah gempa bumi tersebut, terharu melihat langgar duwur itu tidak roboh, sedangkan bangunan yang dianggap lebih kuat porak-poranda akibat terjadinya gempa tersebut. Ditengah-tengah haru dan keheranan tersebut, Bapak Adipati pada waktu itu mengatakan "Besok ditempat ini akan berdiri Masjid Besar". Dari sinilah mulai terkenal langgar duwur.
Alhamdulillah Allah SWT mengabulkannya, Mbah KH. Badafi Hanafi beserta kerabat, santri dan masyarakat pada hari senin wage tahun 1936 dapat mendirikan Masjid di pondok.
Pada tahun 1927 bulan rojab hari Senin wage jam 14.00 Mbah Nyai H. Fadlil (Shofiyah binti KH. Abdul Syukur) wafat, dan pada tahun 1937 pada bulan rajab juga, tepatnya  hari senin wage jam 06.00 pagi beliau mbah KH. Fadlil dipanggil menghadap Allah SWT.


3)   Pendidikan
Beliau menuntut ilmu di beberapa Pondok Pesantren, yaitu :
1.     Pondok Pesantren Wono Tulus , Purworejo (Tahun 1891-1894 M)
KH. Badawi Hanafi, waktu kecil, ketika umurnya 7 tahun, tepatnya pada tahun 1891 dititipkan pada KH. Fadlil Pengasuh Pondok Pesantren Wono Tulus,  tempatnya di desa Wono Tulus, Purworejo, jaraknya sekitar 4 km dari rumah beliau untuk diajari membaca al-Qur'an yang baik dan disekolahkan disekolah ongko loro [1]. Pondok ini, disamping mengajarkan      al-Qur'an, juga mengajarkan beberapa disiplin ilmu agama lain, seperti ilmu ushuluddin (Tauhid), fiqih dll. Pada waktu itu, pondok pesantren tersebut diasuh oleh KH. Fadlil, menantu dari KH. Ahmad Nur,  putra KH. Imam Puro (Imam Maghfuro), orang pertama yang dakwah Islam didaerah Purworejo. KH. Imam Puro masih keturunan Ki Ageng Pemanahan, Mataram. Menurut cerita,  KH. Fadlil ini adalah santri kinasih KH. Imam Puro.
Sebagai seorang ulama yang sangat sabar dan telaten mengajari murid-muridnya, KH. Imam Puro selalu mengawasi perkembangan santri-santrinya dalam mengaji. Pada suatu malam, ketika KH. Imam Puro sedang keliling mengawasi santri-santrinya yang sedang tidur, beliau melihat ada sinar terang yang keluar dari pusar salah seorang santrinya. Kemudian beliau menyobek sarung santri tersebut. Pada siang harinya, Beliau mengumpulkan santri-santrinya dan bertanya ; Siapa yang sarungnya sobek tadi malam ? Fadlil mengacungkan jarinya. Kemudian oleh Beliau, Fadlil dijodohkan dengan cucunya, yaitu putri dari KH. Ahmad Nur. Dari pernikahan  tersebut  KH. Fadlil dikaruniai 9 orang putra, yaitu :  KH. M. Thohir (Wono Tulus), KH. M. Sholeh (Klamudan, Karang Rejo, Loano, Purworejo ayah Ny. Khotijah Nadzir, Kebarongan), Nyai Maryam/Nyai Mu'ti (Kedungdowo, Trirejo, Loano), KH. Bakri (Ds. Karangrejo, Kutoarjo, Purworejo). KH. Muhsin (Winong, Kemiri, Purworejo), KH. Ali (Kali geseng, Kemiri, Purworejo), KH. Abu Yahya (meninggal di Makkah), KH. Mahmud (Wono Tulus), KH. Ahmadi (Gintungan, Gebang, Purworejo) .
Setelah menikah, KH. Fadlil diminta oleh masyarakat untuk berdakwah di desa wono Tulus.  Beliau kemudian membangun sebuah masjid  pada tahun 1870, kemudian karena banyaknya santri yang berdatangan dari berbagai pelosok daerah ingin mengaji pada beliau, akhirnya dibangunlah Pondok Pesanren Wono Tulus pada tahun itu.
Sepeninggal KH. Fadlil pada tahun 1920,  Pondok Wono Tulus diasuh oleh putra pertama beliau, yaitu KH. M. Thohir (alias Bahrun, meninggal tahun 1955),  kemudian dilanjutkan oleh putra KH. M. Thohir, yaitu KH. Nur Abbas (meninggal tahun 1998), dan sekarang diasuh oleh putra KH. Nur Abbas, yaitu K. Toha.
Namun Pondok Pesantren Wono Tulus tersebut, sekarang sudah tidak ada, yang ada tinggal Masjid. Tepatnya tahun 1942, waktu itu masih diasuh oleh KH. Thohir, ketika jepang datang menjajah, santri-santri yang mengaji di Pondok ini bubar. Ini tidak lain karena kekejaman penjajah jepang.
Waktu itu, KH. Badawi Hanafi termasuk santri kalong [2]. Sehingga, agar dapat  mengaji, beliau yang waktu itu umurnya masih tujuh (7) tahun,  rela berjalan kaki, pulang–pergi dari rumahnya ke Pondok setiap hari, yang jaraknya sekitar 4 km. Disamping itu, untuk sampai ke Pondok juga tidak mudah, karena untuk sampai ke Pondok tersebut, beliau harus menyeberangi sungai Bogowonto yang tak berjembatan. Namun karena tekad dan semangat yang kuat, beliau tetap aktif berangkat. Pernah pada suatu hari,  ketika hari hujan, Sungai Bogowonto tersebut banjir, dengan tekat yang besar beliau tetap menyeberanginya meskipun beliau tidak bisa berenang agar tetap dapat mengaji.
Setelah beberapa lama beliau mengaji di Wono Tulus, kurang lebih selama tiga tahun, tepatnya pada tahun 1893, beliau akhirnya dapat menyelesaikan pengajian al-Qur'an-nya dan lulus sekolah ongko loro, yakni ketika beliau berumur 9 tahun. Selesai mengaji al-Qur'an, beliau kemudian mengaji dirumah beliau kepada Sang Ayah sampai berusia 11 tahun.

2.     Pondok Pesantren Loning, Purworejo (Tahun 1895-1901 M)
Setelah KH. Fadlil dan istrinya, Ny. H. Shofiyyah merasa anaknya sudah cukup besar, beliau bertekad bulat mendidik putranya untuk memberikan ilmu-ilmu agama dengan menitipkannya di Pondok Pesantren.   
Melihat semangat anaknya (KH. Badawi Hanafi) yang luar biasa dalam mengaji, pada tahun 1895, ketika beliau berumur 11 tahun, yaitu dua tahun setelah beliau menyelesaikan pengajian al-Qur'an di Pondok Pesantren WonoTulus, beliau dipondokkan di Pondok Pesantren Loning, yang waktu itu diasuh oleh KH. Abdulloh Mukri dengan dibantu adik-adiknya, yaitu K . Syamhudi, K. Sahlan,  dan K. Abdullah Mahlan, cucu-cucu Imam Rofi'i.
Pondok Pesantren ini didirikan didesa Loning, Purworejo (jauhnya 10 km dari rumah KH. Badawi hanafi) sekitar tahun 1800, oleh Raden Muhammad H. Rofi'i (paman Pangeran Diponegoro , guru Imam Puro yang dikenal dengan sebutan tuan guru Imam Rofi'i)  bin Pangeran Hangabehi bin Sunan Amangkurat IV bin Sunan Pakubuwono I bin Sunan Amangkurat I bin Sultan Agung Hanyokrokusumo bin Sinuhun Sedo Krapyak bin Panembahan Senopati bin Ki Ageng Pemanahan.  Sebelum berdakwah di Loning,  Tuan Guru mengaji di Makkah, sekitar 25 tahun. Tuan Guru terkenal orang yang sangat mumpuni tentang bacaan Al-Qur'an. Imam Puro sendiri mengaji al-Qu'an  kepada beliau.
Adapun ayah beliau, Pangeran Hangabehi, yang dikenal dengan KH. Ageng Mlangi/Mbah Sandiyo/Mbah Nurul Iman adalah orang yang pertama yang dakwah Islam di daerah Mlangi (sekarang makamnya ada disana)
Pondok Pesantren Loning ini pertama diasuh oleh Tuan Guru Imam Rofi'i,  kemudian dilanjutkan oleh menantunya (K. Sangid) dan putra-putra beliau (setelah mereka besar), yaitu K. Mahmud, K. Soleh, dan K. Bustomi. Pada periode berikutnya, yaitu sekitar tahun seribu sembilan ratusan dteruskan oleh cucu-cucu Tuan Guru yaitu : K. Abdullah Mukri, K. Samhudi, K. Sahlan, dan K. Abdullah Mahlan. Pada periode K. Abdullah Mukri inilah,  KH. Badawi Hanafi mondok disini.
Alumni-alumni Pondok Loning adalah pendiri-pendiri pondok di daerah jogja, semarang,  magelang dan sekitarnya antara lain Syeh Sholeh Darat Semarang.
Bangunan Pondok Loning yang dulu, sekarang sudah tiada. Yang ada sekarang adalah masjidnya yang diasuh oleh putra K. Samhudi, yaitu KH. Nasrudin serta Pondok Pesantren Loning baru dan Madrasah Diniyyah yang didirikan oleh KH. Nasrudin pada tahun 1965.
Di Pondok ini, KH. Badawi Hanafi sudah bukan lagi santri kalong. Beliau tidak lagi pulang pergi tiap hari untuk mengaji, tapi disini beliau telah menetap di dalam salah satu kamar Pondok Pesantren. Beliau sangat jarang pulang kerumah, kecuali kalau ada keperluan yang sangat penting, itupun dengan jalan kaki. Beliau adalah orang yang sederhana, tidak suka bermewah-mewah.
Pada waktu disini, beliau masih diberi  bekal oleh orang tuanya. Beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tiada duanya tersebut. Beliau manfaatkan sebaik-baiknya dengan tekun mengaji. Karena tidak sembarang orang yang mau membiayai anaknya untuk keperluan mengaji. Ada orang yang punya harta banyak ingin membiayai anaknya mengaji, tapi anaknya tidak mau. Ada lagi yang anaknya punya kemauan kuat untuk mengaji, tapi orang tuanya tidak mampu atau tidak mendukungnya. Jadi beliau tidak mau menjadi orang yang merugi, dengan mengabaikan kesempatan yang ada.
Selama enam (6) tahun lamanya, beliau mengaji berbagai disiplin ilmu agama disini, antara lain : bacaan Al-Qur'an, ilmu ushuluddin (ilmu tauhid),  ilmu-ilmu alat, ilmu fiqih dll.

3.     Pondok Pesantren Bendo, Kediri (Tahun 1901- 1921 M)
Begitu cintanya beliau pada ilmu agama, setelah beliau mengaji dengan tekun berbagai ilmu agama di Pondok Loning, beliau tidak lekas merasa cukup dengan ilmu yang telah ia kaji. Beliau selalu merasa kurang dalam menuntut ilmu. Beliau punya keyakinan bahwa ilmu Allah itu tidak akan ada habis-habisnya. Kesemangatan dan tekad beliau yang kuat inilah yang menjadi penyebab Allah menganugerahinya sebagai sosok yang `alim.
Hal tersebut terbukti manakala usia beliau menginjak umur 17 tahun, tepatnya tahun 1901, dari Pesantren Loning, beliau melanjutkan mengaji di Pondok Bendo,  Kediri, Jawa Timur.
Pada waktu beliau mengaji, Pondok Pesantren ini diasuh oleh Syekh Khozin, adik Syekh Dahlan Jampes.
Syekh Khozin adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai ilmu agama. Beliau termasuk seorang tokoh sufi pada waktu itu. [3] Sehingga KH. Badawi Hanafi banyak belajar ilmu tasawuf pada beliau.
Sebagaimana di Loning, beliau disini juga menetap, bukan sebagai santri kalong. Dalam usia tersebut, beliau sudah sangat dewasa, beliau tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi beliau ikut merasakan betapa susah kedua orang tuanya mencarikan uang untuk mencukupi kebutuhannya dalam mengaji di Pondok Loning. Oleh karena itulah, selama 20 tahun beliau mengaji dipondok ini, beliau tidak pernah meminta bekal pada kedua orang tuanya.  Hal itu karena beliau tidak ingin membebani mereka. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama mengaji, beliau bekerja sebagai tukang memperbaiki jam, menjahit dan ngedok [4] , sebagai sambian (pekerjaan sampingan).  Hasil dari pekerjaan tersebut tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan pribadinya selama mengaji, tapi juga disisakan untuk ditabung dan dikirimkan kerumah untuk membantu orang tua.
Pada waktu mengaji di Pondok Bendo ini, beliau termasuk santri senior kesayangan Syekh Khozin.  Beliau sering ditunjuk oleh syekh Khozin untuk mengimami shalat, ketika sedang berhalangan. Pernah seorang santri baru (K. Syujangi Purbalingga) mengamati beliau, ia kagum terhadap seorang santri yang ditunjuk Syekh Khozin untuk mengimami, dalam hati ia bertanya ; Apakah orang yang mengimami tadi adalah orang yang tadi siang menjadi tukang batu ? Selidik punya selidik ternyata dugaannya tidak meleset[5]. Memang disamping pandai mengaji, beliau memiliki banyak ketrampilan, salah satunya adalah sebagai tukang batu. Ketrampilan tersebut beliau manfaatkan untuk membangun Pondok Bendo.
Walaupun beliau menetap di Pondok Bendo, tetapi beliau juga mengaji jolok (mengaji dan menempat disuatu pondok sambil mengaji di pondok yang lain)  di Pondok Jampes, yang ditempuh beliau dengan jalan kaki, padahal jaraknya agak jauh, sekitar 12 km. Waktu itu beliau mengaji ilmu falak/ilmu hisab pada syekh Dahlan, sampai beliau memahami ilmu tersebut.
Setelah KH. Badawi Hanafi belajar di Pondok Pesantren ini selama kurang lebih 20 tahun lamanya, yaitu sampai tahun 1921, Syekh Khozin memerintahkan beliau untuk pulang berdakwah dimasyarakat. Waktu beliau akan pulang, Syekh Khozin mengantarkannya sampai kestasiun[6]. Hal ini tidak lain karena beliau adalah santri kesayangannya.

4.     Pondok Pesantren Lirap
Setelah didawuhi untuk pulang, beliau tidak langsung menetap dirumah, akan tetapi beliau mondok dulu di pesantren Lirap, Kebumen. Waktu itu Pondok Lirap diasuh oleh Simbah KH. Ibrahim. Kurang lebih tiga tahun lamanya, beliau mondok disini, yaitu dari tahun 1921-1924 M.
Selain untuk menuntut ilmu, disini beliau sambil riyadloh mencari tempat yang tepat untuk digunakan berdakwah.  Ada bebarapa daerah yang beliau tirakati untuk digunakan tempat berdakwah, mendirikan Pondok Pesantren, antara lain : Kuripan, Cilacap kota (dekat daun lumbung), Sumur Gemuling, Sitinggil, dan Kesugihan. Dari beberapa tempat tersebut, akhirnya beliau mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk menempat berdakwah di Kesugihan, tempat orang tuanya tinggal. Setelah menemukan tempat yang tepat tersebut, akhirnya tahun 1924 beliau memutuskan untuk pulang.

4)   Pendirian Pondok
Setelah kepulangan beliau dari Pondok Lirap, sebelum bulan Ramadlan tahun 1343 H/tahun 1924 M, atas kesepakatan warga masyarakat platar dan lemah gugur, didirikanlah Pondok Pesantren. Namun pendirian Pondok tersebut baru disahkan pemerintah yang berpusat di Banyumas pada tanggal 24 November 1925 M /1344 H.
Pada waktu itu, bangunan pondoknya hanya terdiri dari beberapa kamar, dengan ruangan tengah yang cukup lebar untuk mengaji dan KH. Badawi menempati salah satu kamar tersebut. [7]
Pada tahun 1936 beliau membangun sebuah masjid, dan langgur duwur yang tadinya digunakan untuk shalat jamaah dibongkar.

5)   Pernikahan KH. Badawi Hanafi
Setahun dari pendirian pondok, kemudian beliau berpikir untuk mendapatkan seorang pendamping hidup. Setelah beliau meminta petunjuk pada Allah SWT melalui shalat istikharah, akhirnya beliau diberi petunjuk oleh-Nya untuk menikah dengan seorang wanita shalihah yang bernama Nyai 'Aisyah Badriyah, putri seorang Kyai yang kaya raya, yaitu KH. Abdullah Mukri dari Kebarongan.
Setelah beliau selidiki, wanita yang ditunjukkan Allah SWT. tersebut ternyata sudah dilamar oleh seorang putra seorang Syekh dari Makkah, bahkan hari perkawinannya sudah ditetapkan. Namun beliau tetap berkeyakinan bahwa petunjuk Allah SWT pastilah benar, tidak mungkin meleset.
Ternyata apa yang beliau yakini menjadi kenyataan. Jadwal pernikahan yang sudah direncanakan dengan matang akhirnya tidak menjadi kenyataan. Karena pada tahun itu, adiknya  Nyai 'Aisyah (Gus Syahid) meninggal dunia, dan menurut adat jawa, tidak diperbolehkan menikah pada tahun itu. Sehingga pihak keluarga sepakat untuk menunda pernikahan sampai tahun depan. Mendengar keputusan tersebut, calon pengantin pria yang sudah memutuskan harus menikah pada tahun itu akhirnya mencabut lamaran dan menikah dengan wanita lain.[8]
KH. Badawi Hanafi yang sangat yakin dengan kebenaran petunjuk Allah tersebut, kemudian memberanikan diri untuk melamar. Apa hasilnya ? ibarat gayung bersambut, beliau yang waktu itu bermodalkan keyakinan, tidak bermodalkan harta melimpah, yang kalau dalam masalah harta bagaikan pungguk merindukan bulan, lamarannya diterima dengan suka cita oleh wanita shalihah tercinta, Nyai 'Aisyah Badriyah dan anggota keluarganya, Subhan-Alloh. Akhirnya pada tahun 1926 M beliau melangsungkan pernikahan dengan Nyai 'Aisyah Badriyah.

6)   Putra-Putri KH. Badawi Hanafi
Dari pernikahan beliau dengan Nyai 'Aisyah beliau dikarunia 14 putra-putri, yaitu  :
a.   Nyai Hj. Nasiroh, istri K. Muchson (Pengasuh PP. Al Ihya 'Ulumaddin Kesugihan)
b.   Nyai Hj. Murtajiaturrohmah, istri KH. Abdul Wahhab (Pendiri dan Pengasuh PP. Manarul Huda, Kesugihan)
c.   K. M. Musthofa Al-Makki
d.   Nyai Ma'unah, istri KH. Abdurrahim (Pendiri dan Pengasuh PP. Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Wawa Barat)
e.    Nyai Hj. Mumbasithoh, istri KH. Abdurrahim (Pendiri dan Pengasuh PP. Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Wawa Barat)
f.    KH. Ahmad Mustholih Badawi (Pengasuh PP. Al Ihya 'Ulumaddin Kesugihan setelah KH. Muchson)
g.   KH. Chasbullah Badawi (Pengasuh PP. Al Ihya 'Ulumaddin Kesugihan sekarang)
h.  K. Mukhtaruddin
i.    Ning Mutammimah (meninggal waktu kecil)
j.    Nyai Hj. Muttasingah, istri KH. Zaini Ilyas (Pendiri dan Pengasuh PP. Miftahul Huda, Pesawahan, Rawalo)
k.  Nyai Hj. Marhamah, istri KH. Abdul Qohar (Pengasuh PP. Syamsul Huda, Kedungreja)
l.    Gus Amir (meninggal waktu kecil)
m.Gus Markhum (meninggal waktu kecil)
n.  Nyai Hj. Kholisoh, pernah bersuamikan : KH. Salim, K. Abd. Rozak,               K. Sholeh, K. Habib, K. Satori, K. Masrur.

7)   Riyadlah KH. Badawi Hanafi
Kebesaran beliau ternyata tidak muncul dengan tiba-tiba. Ada proses panjang yang dilalui beliau sampai namanya dikenang hingga sekarang. Bentuk-bentuk riyadlah (melatih diri mengekang hawa nafsu menuju ridla Allah SWT) beliau sangat bermacam-macam,  antara lain :
a.   Beliau selalu mujahadah setiap malam (قيام الليل)[9]
Jadi, waktu malam yang panjang tidak beliau gunakan untuk ngobrol ngalor-ngidul (bicara kesana kemari)  yang tidak ada manfaatnya, tapi beliau gunakan untuk muthala'ah kitab dan mujahadah (shalat, dzikir dsb).
b.   Rajin shalat berjama'ah, Beliau dikenal sebagai orang yang sanyat tekun dan rajin dalam menjalankan shalat jama'ah.
c.   Makannya sedikit
Sebagaimana manusia biasa, tentunya beliau juga memerlukan kekuatan agar dapat beribadah kepada Allah SWT yang mana kekuatan tersebut dapat diperoleh dari makanan. Namun apabila terlalu banyak, akan berakibat yang tidak baik, karena ada beberapa bahaya yang dapat ditimbulkan dari  kebanyakan makan, antara lain banyak menimbulkan berbagai macam penyakit dan menghilangkan kecerdasan[10]. Disamping itu, apabila perut terlalu kenyang, syahwat akan besar sehingga mudah terbujuk oleh godaan syetan. Padahal mencari ilmu itu tidak lain adalah untuk mendapatkan ridla dari Allah SWT . Beliau tetap masak nasi itupun dicampuri krikil, hanya agar tidak dianggap priatin oleh orang lain. . [11]
d.  Beliau sangat aktif mengaji dan selalu gasang[12].
Misalnya, sewaktu kecil, ketika beliau mengaji di Pondok Wono Tulus, terjadi hujan deras dan sungai yang harus beliau lalui agar dapat sampai di Pondok tersebut meluap.  Akhirnya beliau nekad  berenang menyeberangi sungai tersebut agar tetap dapat mengaji.[13] Dan juga pernah suatu hari di Pondok Bendo, sewaktu beliau mengaji kitab Ihya 'Ulumiddin, karya Imam Ghozaly, dalam kondisi sakit yang cukup parah, beliau memaksakan diri untuk tetap mengaji dengan minta digotong pada teman-temannya ketempat pengajian. Melihat hal itu, KH. Khozin sangat iba, sehingga akhirnya beliau meliburkan pengajian sampai sakitnya sembuh. Dalam mengaji Bandungan kitab tersebut, tidak ada satupun korasan (lembaran-lembaran kitab) yang terlewatkan, Semua isi kitab beliau kaji dengan tekun, tidak ada yang ketinggalan sedikitpun. [14]
Disamping beliau tekun mengaji, beliau juga sangat ta'dzim (menghormati) Guru. Waktu mondok di Bendo, beliau sering membantu Syekh Khozin. Beliau adalah orang yang dipercaya untuk mencucikan baju dan menyiapkan air untuk mandi Syekh Khozin.  Beliau dengan tekun setiap hari, mengisi kulah-kulah (kamar Mandi) yang ada di ndalem.[15] Ini adalah dalam rangka mencari ridlo Guru. Karena buat apa mendapat ilmu yang banyak jikalau Gurunya tidak meridloi. Bagaimanapun juga, kita akan sulit mengetahui kebenaran, tanpa bantuan dan bimbingan seorang Guru, karena beliau tentunya lebih mengetahui apa yang terbaik dan akan memberikannya untuk sang murid.
بسم الله الرحمن الرحيم
كـتاب نية  اعسون عاجي
Karya : Romo KH. Badawi Khanafi

Niyat ingsun ngaji, sing jeneng ngaji iku nular kaweruh belajar kepinteran agama Islam sing munggueh gusti Alloh, lan utusane gusti Alloh. Yoiku agomo kang cocok karo dawueh Qur’ane gusti Alloh, lan Hadise utusane gusti Alloh, kang ketoto poro sohabate utusane gusti Alloh lan tabingin tabingihim, ngulama salaf lan ahli madzhab, kang ngumpulaken limang perkoro, ditekodaken ono ing ndalem ati, diucapaken ono ing lisan,  ditandangi nganggo badan. Rupinipun limang perkoro : sewiji moco syahadat loro, kaping pindo sholat limang wektu ingndalem sedina sa’wengine kelawan netepi syarat rukune, kaping telu zakat fitrah kelawan netepi syarat rukune, kaping papat puoso wulan romadon kelawan netepi syarat rukune, kaping lima haji maring baitulloh, kelawan netepi syarat rukune.
Agama Islam mau penggaweane wong ngéngér maring gusti Alloh. Kito putro wayah Adam, rumongso ngéngér, rumongso dadi kawulo. Dengere yen kito rumongso ngéngér dadi kawulo, kerono kito rumongso digawe lan rumongso dicukupi, yoiku didadeake ono ing wetenge biyunge, dibabarake, diparingi rizqi powan soko biyunge, mundak-mundak gede, manggon ono ing bumine gusti Alloh, mangan pepanganane gusti Alloh, ngombe banyune gusti Alloh, nyandang sesandangane gusti Alloh, ngalap padang srengenge, rembulan, lintang, lan liya-liyane, kabeh iku kagungane gusti Alloh.
Tetep kito ngéngér, tetep kito dadi kawulo. Patrapané wong ngéngér dadi kawulo, nyambut gawé manut tata hukumé pangéran kang dingéngéri. Kito bakal bali ketemu pangéran kang dingéngéri. Yén kito wis nyambut gawé bener, manut tata hukumé pangéran kang dingéngéri, ora didukani, didawuih nganggur, manggon ono ing panggonan kang kepénak, énak, bungah, seneng, rejo, mulyo sa’lawase, yoiku sing jeneng suwargo.
Yén kito ora nyambut gawé bener, ora manut tata hukumé pangeran kang dingengeri, bakal bali ketemu pangeran kang dingengeri, didukani, didawuih manggon ono ing panggonan kang loro, rekoso sa’lawas lawase, yoiku sing jeneng Neroko.
Ing saréhning agama Islam mau kumpulé limang perkoro, kang dingin moco syahadat loro; tegesé nekséni anané gusti Alloh lan utusané gusti Alloh. Yén mengkono wau wiwit wajib ipun tiyang mukallaf puniko ma’rifat dateng gusti Alloh lan dateng utusané gusti Alloh.
Ingkang nami ma’rifat puniko i’tikod ingkang kukuh, ingkang cocok kawontenanipun, ingkang dipun tékodaken, ingkang medal saking dalil pemanggiéh ponco ndriyo. Ma’rifat mau tembung ngarob, coro jawinipun nyumerapi dateng gusti Alloh, lan dateng utusanipun gusti Alloh, kelawan nganggo peningaling manah, ingkang medal saking dalil pemanggiéh ponco ndriyo.
Ing saréhning wiwit wajib ipun tiyang mukallaf puniko ma’rifat dateng gusti Alloh, lan dateng utusanipun gusti Alloh. Yén mekaten kulo inggih nyumerapi ingkang nami gusti Alloh puniko dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat sempurno, mboten kekirangan, mboten kénging dipun koyo-koyo, mboten rupo, mboten werno, mboten kontho, mboten arah, mboten enggen, cekap kulo tékodaken wonten ing manah, kulo ucapaken ing lisan, kulo panggih, kulo raos nganggo peningaling manah kémawon, kulo lampahi ngangge badan.
Dalilipun  saged kulo sumerapi, ingkang nami gusti Alloh puniko dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat sempurno, mboten kekirangan. Saking kulo pikir, kulo nalar, kulo tingali saking badan kulo pinyambak, lan sanés-sanésipun, rupinipun : bumi, langit lan saisinipun. Déné pemikir kulo, penalar kulo, saking badan kulo piyambak, mekaten kulo wau–waunipun mboten wonten, sa’puniko lajeng wonten. Mongko pundi–pundi perkawis ingkang wau–waunipun mboten wonten lajeng wonten dipun wastani perkawis énggal. Mongko pundi-pundi perkawis enggal mboten saged enggal piyambak, kedah wonten ingkang ngénggalaken. Déné ingkang ngénggalaken mesti kémawon mboten sami kelayan ingkang dipun énggalaken. Lah, inggih puniko ingkang ngénggalaken kulo ingkang nami gusti Alloh, dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat sempurna, mboten kekirangan.
Dalilipun malih saged kulo sumerapi, ingkang nami gusti Alloh puniko dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat sempurna, mboten kekirangan. Saking kulo pikir, kulo nalar, kulo tingali saking bumi langit sa’isinipun. Déné pemikir kulo, penalar kulo saking bumi saisinipun, mekaten bumi langit sa’isinipun kulo pikir–pikir nami perkawis énggal. Saged kulo sumerapi bumi langit sa’isinipun nami perkawis énggal, kerono kulo tingali ketetapan sifat énggal. Rupinipun sifat énggal : obah, meneng, lan owah-owah. Rupinipun owah-owah : siang,  ndalu, padang, peteng, iyub, bentér, jawah, terang, andap, inggil, lan sanés-sanésipun. Sa’puniko kaleres meneng, ndalu, peteng, terang, katah tiyang ngaos, lan sanés-sanésnipun. Mongko pundit-pundi perkawis ingkang ketetepan sifat énggal inggih tumut énggal. Mongko pundi-pundi perkawis ingkang enggal mboten saget énggal piyambak, kedah wonten ingkang ngenggalaken. Dene ingkang ngenggalaken bumi langit sa’isinipun mesti mboten sami kelayan bumi langit saisinipun. Lah, inggih puniko ingkang ngenggalaken bumi langit sa’isinipun ingkang nami gusti Alloh, dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat sempurna, mboten kekirangan.
Kulo nyumerapi poro utusanipun gusti Alloh. Déné poro utusanipun gusti Alloh puniko Menungso jaler kang merdéko, kang sempurna kedadosanipun, ingkang mboten wonten celanipun, ingkang keparingan wahyu jali lan wahyu khofi. Déné gusti kulo, bendoro kulo, Nabi kulo, puniko kanjeng Nabi Muhammad SAW, kaleres putranipun Kyai ‘Abdulloh, wayahipun Kyai ‘Abdul Mutholib, Ibunipun Dewi Aminah, tedakipun bongso Quraisy. Kanjeng Nabi Muhammad dipun putraaken wonten Mekah, dangu-dangu ageng, sepuh , dados nabi, dados utusan, dipun utus mucal agami Islam wonten ing negari Mekah. Ingkang dipun wucal sedoyo jin lan menungso. Sagedipun wradin dipun tular-tular aken. Rumiyinipun mucal santrinipun ingkang nami shohabat, shohabat mucal santrinipun ingkang nami tabi’in, tabi’in mucal santrinipun ingkang nami tabi’ihim, tabi’ihim mucal santrinipun ingkang nami ‘ulama salaf, ‘ulama salaf mucal santrinipun  ingkang nami ‘ulama kholaf, sa’teras-terasipun, mucal-mucalaken henggo sa’priki, dumugi ing ngriki panggonan, Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin Kesugihan Cilacap / Pondok Pesantren Syamsul Huda Ciklapa Kedungreja Cilacap Jawa Tengah / lan sanés-sanésipun. Dangu-dangu kanjeng Nabi Muhammad pindah wonten ing negari Madinah, mucal agami Islam wonten ing Madinah. Dangu-dangu gerah, sedo, dipun saréaken wonten negari Madinah. Sa’sampunipun sedo mboten wonten Nabi utusan malih henggo dumugi sa’priki ngantos dinten kiamat. Dene wontenipun Nabi ‘Isa, mbenjang sa’caketipun dinten kiamat, namung nerasaken piwucalipun kanjeng Nabi Muhammad. Sa’sampunipun kulo sumerapi syahadat kalih, lajeng kulo nyumerapi ingkang nami sholat. Déné ingkang nami sholat punika pendamelanipun tiyang ngéngér maring Gusti Alloh. Lah inggih puniko pinten-pinten pengucap lan pinten-pinten pendamelan ingkang dipun penganggéni syarat rukun, ingkang dipun kawiti takbirotul ihrom, ingkang dipun pungkasi salam. Déné syarat wajib ipun sholat puniko wonten tigo : setunggal Islam, kaping kalih baligh, kaping tigo nggadaih ngakal.
Kulo sumerapi sifat-sifatipun gusti Alloh. Dene sifat-sifatipun gusti Alloh puniko kepérang dados tigo : setunggal sifat wajib, kaping kalih sifat mustahil, kaping tigo sifat jaiz. Déné sifat wajibipun gusti Alloh puniko mboten wonten telas-telasipun, muhalipun sa’monten ugi.
Déné ingkang dipun wajibaken nyumerapi saben-saben tiyang mukallaf puniko namung kalih doso, muhalipun inggih kalih doso, jaizipun setunggal.
Rupinipun sifat wajib kalih doso inggih puniko : (1) wujud, (2) qidam, (3) baqo, (4) mukholafatu lil-hawaditsi, (5) qiyamuhu ta’ala binafsihi, (6) wahdaniyah, (7) qudrot, (8) irodat, (9) ‘ilmu, (10) hayat, (11) sama’, (12) bashor, (13) kalam, (14) qodiron, (15) muridan, (16) ‘aliman, (17) hayyan, (18) sami’an, (19) bashiron, (20) mutakalliman. Muhalipun : (1) ‘adam, (2) huduts, (3) thuruwwul ‘adam, (4) mumatsalatu lil-hawaditsi, (5) al-la yakuna qoiman binafsihi, (6) al-la yakuna wahidan, (7) ‘ajzu, (8) ‘adamul irodat, (9) jahl, (10) maut, (11) shomam, (12) ‘ama, (13) bakam, (14) ‘ajizan, (15) ghoiro muridin, (16) jahilan, (17) mayyitan, (18) shomman, (19) ‘amman, (20) bakiman. Wajib wujud muhal ‘adam, wajib qidam muhal huduts, wajib baqo muhal thuruwwul ‘adam, wajib mukholafatu lil-hawaditsi muhal mumatsalatu lil-hawaditsi, wajib qiyamuhu binafsihi muhal al-la yakuna qoiman binafsihi, wajib wahdaniyah muhal al-la yakuna wahidan, wajib qudrot muhal ‘ajzu, wajib irodat muhal ‘adamul irodat, wajib ‘ilmu muhal jahlu, wajib hayat muhal maut, wajib sama’ muhal shomam, wajib bashor muhal ‘ama, wajib kalam muhal bakam, wajib qodiron muhal ‘ajizan, wajib muridan muhal ghoiro muridin, wajib ‘aliman muhal jahilan, wajib hayyan muhal mayyitan, wajib sami’an muhal shomman, wajib bashiron muhal ‘amman, wajib mutakalliman muhal bakiman.
Wajib wujud muhal ‘adam, tegesipun mesti gusti Alloh wonten, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh mboten wonten. Wajib qidam muhal huduts, tegesipun mesti gusti Alloh dingin tanpo kawitan, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh anyar. Wajib baqo muhal thuruwul ‘adam, tegesipun mesti gusti Alloh langgeng tanpo pungkasan, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh kenging rusak. Wajib mukholafatu lil-hawaditsi muhal mumatsalatu lil-hawaditsi, tegesipun mesti gusti Alloh bénten kelayan perkawis énggal, mboten pinanggih ngakal yén gusti Alloh sami kelayan perkawis énggal. Wajib qiyamuhu binafsihi muhal al-la yakuna qoiman binafsihi, tegesipun mesti gusti Alloh jumeneng piyambak, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh mboten jumeneng piyambak. Ingkang nami jumeneng piyambak puniko mboten dipun damel dzat sanés utowo tumémpél dzat sanés.  Wajib wahdaniyah muhal al-la yakuna wahidan, tegesipun mesti gusti Alloh setunggal, mboten pinanggih ngakal yén gusti Alloh mboten setunggal. Ingkang nami setunggaling gusti Alloh puniko mboten wewicalan kalih utawi tigo, utawi langkung katah, lan mboten kesusun-susun dzatipun lan sifatipun. Wajib qudrot muhal ‘ajzu, tegesipun mesti gusti Alloh kuoso, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh apes. Wajib irodat muhal ‘adamul irodat, tegesipun mesti gusti Alloh kerso, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh kesereng. Wajib ‘ilmu muhal jahlu, tegesipun mesti gusti Alloh ngudaneni, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh bodo. Wajib hayat muhal maut, tegesipun mesti gusti Alloh gesang, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh sedo. Wajib sama’ muhal shomam, tegesipun mesti gusti Alloh midanget, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh tuli. Wajib bashor muhal ‘ama, tegesipun mesti gusti Alloh ningali, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh wuto. Wajib kalam muhal bakam, tegesipun mesti gusti Alloh ngendiko, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh bisu. Wajib qodiron muhal ‘ajizan, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang kuoso, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat inkang apes. Wajib muridan muhal ghoiro muridin, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang kerso, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat ingkang kesereng. Wajib ‘aliman muhal jahilan, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang ngudaneni, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat ingkang bodo. Wajib hayyan muhal mayyitan, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang gesang, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat ingkang sedo. Wajib sami’an muhal shomman, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang midanget, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat ingkang tuli. Wajib bashiron muhal ‘amman, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang ningali, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat ingkang wuto. Wajib mutakalliman muhal bakiman, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang ngendiko, mboten pinanggih ngakal yén gusti Alloh dzat ingkang bisu.
Kulo nyumerapi sifat jaiz ipun gusti Alloh. Déné sifat jaiz ipun gusti Alloh puniko wonten setunggal, pang ipun wonten sekawan, dados gangsal. Muhalipun jaiz inggih gangsal. Rupinipun sifat jaiz setunggal : fi’lu wa tarku, pang ipun ‘adam ta’tsir bil-quwwah, ‘adam ta’tsir bith-thob’i, hudutsul ‘alam biasrihi, yaf’alul asy-yaa’a la lighordin. Muhalipun wujubul-fi’li wat-tarki, ta’tsir bil-quwwah, ta’tsir bith-thob’i, qidamul-‘alam biasrihi,   yaf’alul ays-yaa’a lighordin. Jaiz fi’lu wa tarku muhal wujubul fi’li wa tarki, tegesipun kenging-kenging kemawon gusti Alloh damel ngalam utawi tinggal damel ngalam, mboten pinanggih ngakal yén gusti Alloh wajib damel ngalam utawi wajib tinggal damel ngalam. ‘Adam ta’tsir bil-quwwah, muhal ta’tsir bil-quwwah, tegesipun mboten wonten setunggaling ngalam ingkang saged ngelabeti kelawan kekiyatanipun piyambak, mboten pinanggih ngakal yén setunggaling ngalam saged ngelabeti kelawan kekiyatanipun piyambak. ‘Adam ta’tsir bith-thob’i muhal  ta’tsir bith-thob’i, tegesipun mboten wonten setunggalipun ngalam ingkang saged ngelabeti kelawan watekipun piyambak, mboten pinanggih ngakal yén setunggaling ngalam saged ngelabeti kelawan watekipun piyambak. Hudutsul-‘alam biasrihi muhal qidamul-‘alam biasrihi, tegesipun anyar sedodyonipun ngalam, mboten pinanggih ngakal yen sedoyo ngalam dingin tanpo kawitan. Yaf’alul asy-yaa’a la lighordin muhal yaf-alul asy-yaa’a lighordin, tegesipun gusti Alloh damel ing pinten-pineten perkawis mboten wonten pengarahipun, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh damel pinten-pinten perkawis wonten pengarahipun.
Kulo nyumerapi sifat wajibipun poro Rosul. Dene sifat wajibipun poro Rosul puniko wonten tigo, muhalipun wonten tigo. Rupinipun sifat wajib tigo puniko : (1) shidiq, (2) amanah, (3) tabligh. Muhalipun inggih tigo, rupinipun : (1) kidzib, (2) khiyanat, (3) kitman. Wajib shidiq muhal kidzib, tegesipun mesti temen poro utusanipun gusti Alloh, mboten pinanggih ngakal yén goroh poro utusanipun gusti Alloh. Wajib amanah muhal khiyanat, tegesipun mesti pinercoyo poro utusanipun gusti Alloh, mboten pinanggih ngakal yén cidro poro utusanipun gusti Alloh. Wajib tabligh muhal kitman, tegesipun mesti nekaaké poro utusanipun gusti Alloh, mboten pinanggih ngakal yén ngumpet poro utusanipun gusti Alloh. Sifat jaizipun poro Rosul puniko wonten setunggal, muhalipun jaiz ugi setunggal. Rupinipun jaiz setunggal puniko : wenang ketetepan sifat a’rodlul basyariyyah, tegesipun kenging-kenging kemawon poro Rosul ketetepan sifat bongso menungso, kadosto : dahar, ngunjuk, kromo putro, tetindakan, tetumbasan, lujeng, gerah, sédo, lan sanés-sanés ipun. Muhal yén poro Rosul ketetepan sifat uluhiyyah, tegesipun mboten pinanggih ngakal yén poro Rosul keketepan sifat bongso kepengéranan, kadosto : damel ngalam kelawan mawi kekiyatanipun piyambak utawi ngehaki dipun sembah.
Pengucap  مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ  puniko nglebetaken iman sekawan. Inggih meniko : (1) ngimanaken poro Nabi, (2) ngimanaken poro Malaikat, (3) ngimanaken kitab bongso langit, (4) ngimanaken dino akhir.
Jumlahipun mu’taqod ingkang dipun wajib aken nyumerapi saben-saben tiyang mukallaf puniko wonten séket utawi sewidak kalih, inggih puniko sifat wajibipun gusti Alloh kalih doso, muhalipun inggih kalih doso, jaizipun setunggal, muhalipun inggih setunggal, dados kalih. Kalih lan sekawan doso wonten kawan doso kalih. Lah inggih puniko ingkang sa’jatosipun sifat wajib, mustahil, jaizipun gusti Alloh. Sifat wajib ipun poro Rosul tigo, muhalipun tigo, dados nenem, jaizipun setunggal, muhalipun jaiz setunggal, dados kalih. Kalih lan nenem wonten walu. Lah inggih meniko ingkang sa’jatosipun sifat wajib, mustahil, jaiz ipun poro Rosul. Walu lan sekawan doso kalih wonten seket. Lah inggih meniko jumlahipun mu’taqod ingkang dipun wajib aken nyumerapi saben-saben tiyang mukallaf wonten séket, ingkang mlebet wonten pengucap  لآ الهَ إِلاَّ الله  مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله. Sagedipun mlebet sewidak kalih kerono ngepangaken sifat jaizipun gusti Alloh sekawan, muhalipun inggih sekawan. Sekawan lan sekawan wonten walu. Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله puniko nglebetaken iman sekawan. Sekawan lan walu wonten kalih welas. Kalih welas lan séket wonten sewidak kalih. Lah inggih puniko jumlah ipun mu’taqod ingkang dipun wajibaken nyumerapi saben-saben tiyang mukallaf ingkang sewidak kalih, ingkang mlebet wonten ing pengucap  لآ الهَ إِلاَّ الله  مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله.
 Sagedipun mlebet krono ningali pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله, ing ngriki wonten lafal Alloh ingkang asmanipun dzat ingkang ketetepan sifat uluhiyyah. Sifat uluhiyyah anggadaih makna kalih: (1) istighnaul-ilaahi ‘an kulli ma siwahu; tegesipiun semugieh Alloh, andoh saking saben-saben barang kang sa’liyane Alloh. (2) iftiqoru kulli ma ‘adaahu ilaihi, tegesipun karepe saben-saben barang kang sa’liyane Alloh, karep maring Alloh.
Ma siwahu puniko nggadaih ngibarot gangsal : (1) ngibarot fa’il, (2) ngibarot mahal, (3) ngibarot maf’ul, (4) ngibarot mukammil, (5) ngibarot wasithoh. Ma siwahu ingkang ngibarot fa’il nglebetaken mu’taqod sifat wajibipun gusti Alloh kelima sigar, muhalipun inggih kelima sigar. Rupinipun sifat wajib kelima sigar inggih puniko : (1) wujud, (2) qidam, (3) baqo, (4) mukholafatu lil-hawaditsi, (5) qiyamuhu binafsihi. Sa’sigar inggih puniko ingkang makna : la yaftaqiru ilal-faa’ili, tegesipun gusti Alloh mboten karep dateng ingkang ndadeaken. Muhalipun : (1) ‘adam, (2) huduts, (3) thuruwwul ‘adam, (4) mumatsalatu lil-hawaditsi, (5) al-la yakuna qoiman binafsihi, sa’sigar ingkang makna yaftaqiru ilal-faa’ili. Kelima sigar lan kelima sigar dados wonten songo. Ma siwahu ingkang ngibarot mahal nglebetaken sifat wajib ipun gusti Alloh sa’sigar, muhalipun inggih sa’sigar. Rupinipun mu’taqod sifat wajibipun gusti Alloh sa’sigar : qiyamuhu binafsihi, sa’sigar ingkang makna la yaftaqiru ila mahallin, muhalipun sa’sigar ingkang makna yaftaqiru ila mahallin. Sa’sigar lan sa’sigar dados wonten setunggal. Setunggal lan songo dados wonten sedoso. Ma siwahu ingkang ngibarot maf’ul nglebetaken sifat wajibipun gusti Alloh songo, muhalipun songo. Rupinipun sifat wajibipun gusti Alloh songo inggih puniko : (1) wahdaniyyah, (2) qudrot, (3) irodat, (4) ‘ilmu, (5) hayat, (6) qodiron, (7) muridan, (8) ‘aliman, (9) hayyan. Muhalipun : (1) al-la yakuna wahidan, (2) ‘ajzu, (3) ‘adamul irodat, (4) jahlu, (5) maut, (6) ‘ajizan, (7) ghoiro muridin, (8) jahilan, (9) mayyitan. Songo lan songo dados wonten walulas, lan sedoso dados walu likur. Ma siwahu ngibarot mukammmil nglebetaken sifat wajibipun gusti Alloh nenem, muhalipun inggih nenem. Rupinipun sifat wajibipun gusti Alloh nenem inggih puniko : (1) sama’, (2) bashor, (3) kalam, (4) sami’an, (5) bashiron, (6) mutakalliman. Muhalipun : (1) shomam, (2) ‘ama, (3) bakam, (4) shomman, (5) ‘amman, (6) bakiman. Nenem lan nenem wonten kalih welas, lan walu likur dados wonten kawan doso. Ma siwahu ngibarot wasithoh nglebetaken sifat jaizipun gusti Alloh setunggal, pangipun sekawan, dados gangsal, muhalipun inggih gangsal. Rupinipun mu’taqod sifat jaiz ipun gusti Alloh setunggal puniko fi’lu wa tarku. Pang ipun ‘adam ta’tsir bil-quwwah, ‘adam ta’tsir bith-thob’i, hudutsul-‘alam biasrihi, yaf’alul asy-ya’a la lighordin. Muhalipun wujubul fi’li wa tarki, ta’tsir bil-quwwah, ta’tsir bith-thob’i, qidamul-‘alam biasrihi, yaf’alul asy-ya’a lighordin. Gangsal lan gangsal dados sedoso. Sedoso lan kawan doso dados wonten séket. Lan inggih puniko mu’taqod seket ingkang mlebet wonten ing pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله.
Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله nglebetaken mu’taqod kalih welas. Sagedipun mlebet kerono ningali pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله, tegesipun kanjeng nabi Muhammad meniko dados utusanipun gusti Alloh. Ing mongko sedoyo utusanipun gusti Alloh meniko kagungan sifat wajib tigo, muhalipun inggih tigo. Rupinipun wajib tigo inggih puniko : (1) shidiq, (2) amanah, (3) tabligh. Muhalipun : (1) kidzib, (2) khiyanat, (3) kitman. Jaizipun poro Rosul puniko wonten setunggal, muhalipun jaiz inggih setunggal, wenang ketekanan sifat a’rodlul basyariyyah, muhal ketekanan sifat uluhiyyah. Setunggal lan setunggal dados wonten     kalih, kalih lan nenem dados wonten walu. Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله  nglebetaken iman sekawan : (1) ngimanaken poro nabi, (2) ngimanaken poro malaikat, (3) ngimanaken kitab bongso langit, (4) ngimanaken dino akhir. Sekawan lan walu dados wonten kalih welas. Puniko mu’taqod kalih welas ingkang mlebet wonten ing pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله. Kalih welas lan seket wonten sewidak kalih. Lah inggih puniko jumlahipun mu’taqod sewidak kalih ingkang dipun wajibaken nyumerapi saben-saben tiyang mukallaf ingkang mlebet ing pengucap:
لآ الهَ إِلاَّ الله  مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهُ
-- -- -- -- -- -- -- -- -- -- --



[1] Sekolah formal pada waktu itu yang hanya sampai kelas tiga      
[2] Santri yang mengaji di Pondok, tapi tinggalnya tetap dirumah (tidak menetap di Pondok).
[3] Dari K. Abu Tholib Tipar, alumni Bendo
[4] Istilah jawa : menyewa sawah selama satu tahun untuk ditanami
[5] K. Mansyur, dari K. Sujangi dari Purbalingga, santri Bendo adik kelas KH. Badawi Hanafi
[6] Dari KH. Muhsin (pengasuh PP. Al-Fiel), alumni Bendo dari Gus Mastur Jampes
[7] dari Mbah K. Khoiron, Purbalingga
[8] dari KH. Chasbullah Badawi
[9] Dari K. Ibrahim/K. Abu Tholib, alumni Pondok Bendo
[10] Syekh Ibrahim bin Isma'il "Ta'limul Muta'alim" hal:27
[11] Dari K. Ibrahim/K. Abu Tholib Tipar, alumni Pondok Bendo
[12] Menanti Kyai/Guru ditempat pengajian sebelum Sang Kyai/Guru datang mengajar
[13] Dari KH. Chasbullah Badawi
[14] K. Mansyur dari KH. Mustholih Badawi
[15] Dari K. Ibrahim/K. Abu Tholib Tipar, alumni Pondok Bendo

FALSAFAH SYAIR ALFIYAH IBNU MALIK

FALSAFAH SYAIR ALFIYAH IBNU MALIK   ALFIYAH IBNU MALIK, siapapun akan mengetahuinya, anak kecil, orang dewasa, dan bahkan mingkin orang yang...