1.Seluruh Asma Allah adalah husna, artinya Maha Indah.
Firman Allah:
وَللهِ
اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah
kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu. (QS. Al A'raaf :180)
Asma Allah Maha Indah dan sempurna karena tidak
terkandung di dalamnya kekurangan sedikitpun, baik secara eksplisit maupun
implisit. Contohnya: العليم (Yang Maha Tahu) salah satu
asma Allah yang mengandung sifat 'ilmu' (pengetahuan) yang sempurna,
tidak didahului oleh sifat kebodohan dan tidak pula dihinggapi sifat
lupa.
Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di
sisi Rabbku, di dalam sebuah kitab, Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula)
lupa; (QS. Thaha :52)
Ilmu pengetahuan Allah maha luas, meliputi segala
sesuatu, baik secara umum maupun rinci, berkenaan dengan perbuatan Allah I
sendiri maupun makhlukNya.
Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib;
tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada
di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh). (QS Al An'aam:59)
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi
melainkan Allahlah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Huud:6)
Kedua ayat di atas memberikan penjelasan secara nyata
bahwa tidak ada sesuatupun di alam semesta ini yang terlepas dari ilmu Allah
yang Maha Luas dan tanpa batas. Itulah kesempurnaan dan keindahan ilmu Allah.
Demikian pula sifat-sifat Allah yang lainnya, semuanya indah dan sempurna.
2. Asma Allah adalah nama dan sifat.
Nama dipandang dari indikasinya (dalalah)
kepada dzat dan sifat dipandang dari indikasinya kepada makna. Dari pengertian
pertama, maka seluruh asma adalah mutaradif (sinonim), karena
indikasinya hanya kepada satu dzat, yaitu Allah, sedangkan dari pengertian
kedua, maka semua asma Allah adalah mutabayinah (diferensial), karena
setiap asma mempunyai indikasi (dalalah) makna yang tersendiri.
Contohnya:
الحي
العليم القدير السميع البصير الرحمن الرحيم
Semuanya adalah asma untuk satu Dzat, yaitu Allah.
Akan tetapi makna الحيي
tidak sama dengan makna العليم dan العليم tidak
sama dengan makna القدير
demikianlah seterusnya.
Asma Allah disebut nama dan sifat berdasarkan petunjuk
dari Al Quran, seperti firman Allah:
وَهُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS Yunus: 107)
dan firman Allah:
وَرَبُّكَ
الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ
Dan RabbmulahYang Maha Pengampun, lagi mempunyai
rahmat.. (QS Al Kahf :58)
Ayat yang kedua dengan jelas menunjukkan bahwa Ar
Rahim yaitu yang mempunyai sifat rahmah.
Selain itu, berdasarkan konsensus para ahli bahasa dan
adat kebiasaan, bahwa tidak dikatakan 'alim kepada orang yang tidak
mempunyai ilmu, tidak dikatakan sami' kepada orang yang tidak mempunyai
pendengaran, tidak dikatakan bashir kepada orang yang tidak mempunyai
penglihatan, dan demikian pula seterusnya.
3. Asma Allah, jika menunjukkan pengertian transitif (muta'adii),
maka mengandung tiga hal:
Pertama: ketetapan
asma tersebut untuk Allah.
Kedua: ketetapan
sifat yang dikandung oleh Asma ini untuk Allah.
Ketiga: Ketetapan
hukumnya dan tuntutannya (objek) dari sifat tersebut.
Contoh nama السميع (Maha Mendengar),
mengandung ketetapan nama ini untuk Allah, ketetapan bahwa Allah mempunyai sifat
'sama' (mendengar), dan ketetapan hukum dan tuntutannya (objek), yaitu
segala bisikan dan kata-kata rahasia serta segala bunyi yang selalu didengar
oleh Allah, sebagaimana firmanNya:
Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu
berdua.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al
Mujadilah:1)
Akan tetapi jika nama Allah menunjukkan makna
intransitif (lazim), maka hanya mengandung dua hal:
Pertama: ketetapan
nama tersebut untuk Allah.
Kedua: ketetapan
sifat yang dikandung oleh makna ini untuk Allah. Contoh: nama ' الحي '
(Yang Maha Hidup) mengandung ketetapan bahwa nama ini untuk Allah dan ketetapan
adanya sifat 'hayah' (hidup) bagiNya.
4. Asma Allah adalah tauqifiyyah, yaitu
berdasarkan pada wahyu, akan tidak mempunyai peran di dalamnya.
Oleh karena itu, dalam masalah asma` ini harus
berlandaskan Al Quran dan Sunnah yang shahih, tidak boleh ditambah ataupun
dikurangi, karena akal saja tidak mungkin dapat mengetahui asma yang dimiliki
oleh Allah. Untuk itu wajib berpijak kepada nash. Firman Allah:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al Isra: 36)
Selain itu, memberikan nama kepada Allah dengan asma`
yang tidak ditetapkan oleh Allah bagi diriNya sendiri, atau mengingkari Asma
Allah adalah pelanggaran terhadap hak Allah. Maka, wajiblah berlaku sopan dalam
masalah ini dan cukup dengan mengikuti apa yang datang dari nash.
5. Asma Allah tidak terbatas pada bilangan tertentu, berdasarkan sabda Rasulullah:
'Tidak ada duka cita dan kesedihan yang menimpa
seorang muslim, lalu ia membaca: 'Ya Allah sesungguhnya aku adalah hambaMu dan
putra dari jariyahMu, ubun-ubunku berada di tanganMu, berlaku padaku hukumMu,
sangat adil padaku keputusanMu, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asmaMu,
yang telah Engkau namakan untuk diriMu, atau Engkau turunkan dalam
kitabMu, atau engkau ajarkan kepada seseorang di antara makhlukMu, atau
masih dalam rahasia gaib padaMu, yang hanya Engkau sendiri yang mengetahuinya,
agar Engkau jadikan Al Quran sebagai penyejuk hatiku, pembersih sakit hatiku,
dan penghapus kesedihanku,' melainkan Allah menghilangkan kesedihan hatinya dan
menggantikan tempat duka citanya menjadi kebahagiaan.'
Dia menjadikan asmaNya menjadi tiga bagian:
1. Nama yang Dia berikan untuk
dirinya dan Dia beritahukan kepada para malaikatNya atau yang lainnya, namun
nama-namaNya tidak disebutkan dalam kitabNya.
2. Dia menurunkan nama itu dalam
kitabNya dan memberitahukan kepada hamba-hambaNya.
3. Yang menjadi rahasia gaib
padanya dan hanya Dia sendiri yang mengetahuinya, tidak ada seorangpun di
antara makhluk yang mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi bersabda: "Ista`tsarta
bihi" artinya hanya Engkau yang mengetahuinya. Dan berdasarkan ini
Nabi r bersabda dalam hadits syafaat:
Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barangsiapa yang
dapat menghitungnya niscaya ia masuk ke dalam surga."
Yang dimaksud dengan menghitung asma Allah ialah
menghapalnya, memahaminya maknanya, dan menghamba kepada Allah berdasarkan
asma-Nya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa asma Allah hanya 99 saja. Adapun
makna hadits yang berbunyi "barangsiapa yang dapat menghitungnya
niscaya ia masuk ke dalam surga" merupakan kalimat pelengkap, bukan
kalimat terpisah dan berdiri sendiri. Sebagai contoh: bila seseorang berkata:
'Saya mempunyai uang Rp. 100.000.000 yang saya siapkan untuk sedekah', berarti
bisa saja ia mempunyai uang selain RP. 100.000.000 yang disiapkan untuk
berbagai macam keperluan lainnya. Adapun yang berkenaan dengan penyusunan dan
penentuan jumlah asma` Allah I, maka hadits tersebut adalah dha`if (lemah) jadi
tidak bisa menjadi hujjah.
6. Ilhad (mengingkari) asma Allah ialah
tindakan menyelewengkan asma` dari kebenaran yang wajib dilaksanakan
terhadapnya.
Macam-macam ilhad:
a. Mengingkari sesuatu dari asma
Allah, sifat dan hukum yang terkandung di dalamnya. Seperti tindakan kaum Jahmiyah
dan golongan lain dari ahli ta'thil. Menurut mereka, sesungguhnya
asma` adalah lafazh yang kosong, tidak mengandung sifat dan makna. Mereka
memberikan nama kepadaNya as-Sami`, al-Bashir, al-Hayy, ar-Rahim,
al-Mutakallim, dan al-Murid. Namun mereka mengatakan: Tiada kehidupan
bagiNya, tiada pendengaran, tiada penglihatan, tiada perkataan, tiada kehendak
yang berdiri denganNya. Ini adalah ilhad paling besar pada asma`, baik
secara akal, syara`, bahasa, dan fithrah.
b. Menjadikan asma` Allah mempunyai
indikasi (dalalah) yang serupa dengan sifat makhluk. Seperti tindakan ahlu
tasybih (antropomorphism). Golongan ini adalah kebalikan dari golongan
pertama yang mengingkari sifat Allah dan menolak sifat kesempurnaanNya.
c. Menamai Allah dengan nama yang tidak
disebutkanNya untuk diriNya dan tidak disebutkan oleh RasulNya dalam hadits
yang shahih. Seperti tindakan kaum Nasrani yang menamaiNya 'Bapa' dan tindakan filosof
yang menyebutNya 'Al`ilah al-Fa`ilah' (Efficient Cause). Karena Asma`
Allah adalah tauqifiyah, maka menamai Allah yang bukan berasal dari
Allah atau dari RasulNya, berarti menyelewengkan Asma Allah dari kebenaran.
d. Mengambil dari Asma Allah nama
untuk berhala. Seperti tindakan kaum musyrikin yang menamai berhala mereka
dengan nama al-'Uzza berasal dari al-'Aziz dan berhala al-Laatal-Ilah.
yang berasal dari
Ilhad dengan segala
macamnya adalah haram, karena Allah mengancam orang yang berbuat ilhad
dengan firmanNya:
Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'raaf : 180)
e. MensifatiNya dengan sifat yang
Dia Maha Besar dan Maha Suci dari sifat kekurangan, seperti perkataan Yahudi
yang paling jahat: "Innahu faqiir (bahwasanya Dia fakir) dan
perkataan mereka bahwa Dia beristirahat setelah menciptakan makhlukNya. Dan
perkataan mereka:
Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan
merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah
mereka katakan itu. (QS. Al-Maidah:64)
Dan perkataan-perkataan serupa dengan itu termasuk ilhad
pada Asma` dan sifat Allah.
7. Dilalah Asmaul Husna.
Seluruh asma` Allah adalah husna, artinya Maha Indah
dan semuanya menunjukkan kesempurnaan dan pujian yang absolut. Seluruhnya
diambil dari sifat-sifat-Nya. Maka sifat yang ada padanya tidak menafikan 'alamiyah
(nama) dan 'alamiyah tidak menafikan sifat, dan dilalahnya
(indikasinya) ada tiga:
a. Dilaalah muthabaqah (adekusi),
ketika kita tafsirkan nama dengan seluruh yang ditunjukkannya.
b. Dilaalah tadhamun
(inklusi), ketika kita tafsirkan dengan sebagian yang ditunjukkannya.
c. Dan dilaalah iltizam
(konsekuensi), ketika kita menunjukkannya atas yang lainnya dari asma`
(nama-nama) sebagai konsekuensi nama ini atas nama-nama yang lain.
Misalnya: ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), yang
menunjukkan adanya sifat rahmah dan Dzat adalah dilaalah muthabaqah (adekusi),
dan atas salah satunya adalah dilaalah tadhamun (inklusi) karena ia
termasuk dalam kandungannya. Dan indikasinya atas Asma`yang tidak didapatkan
sifat rahmat kecuali dengan tetapnya Asma` tersebut, seperti hayat (hidup),
ilmu (pengetahuan) iradah (kehendak), qudrat (kekuasaan) dan yang lainnya
adalah dilaalah iltizam (konsekuensi). Bagian yang terakhir ini
memerlukan pemikiran yang kuat dan perenungan. Para ahli ilmu berbeda pendapat
dalam hal ini. Maka jalan untuk mengenalnya adalah ketika anda memahami lafazh
(kata) dan makna yang terkandung di dalamnya dan anda memahaminya dengan baik,
maka pikirkan maknanya yang tidak akan sempurna tanpa makna tersebut.
8. Asma Allah dan sifat-sifatNya hanya untukNya, dan
persamaan nama tidak menunjukkan persamaan yang diberi nama.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Allah
menamakan diriNya dengan beberapa nama dan menamai sifat-sifatNya dengan
beberapa nama. Apabila Asma tersebut diidhafahkan (disandarkan)
kepadaNya maka asma itu hanya untukNya, tiada sesuatupun yang menyekutuiNya
pada sifat itu. Dia juga memberi nama kepada sebagian makhlukNya dengan
beberapa nama yang hanya untuk mereka. Persamaan nama tidak menunjukkan
persamaan yang diberi nama. Allah menamai diriNya Hayy (Yang Maha
Hidup) dalam firmanNya:
اللهُ
لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhlukNya); (QS. Al Baqarah :255)
Dan Dia memberi nama kepada sebagian hambaNya Hayy (yang hidup) dalam
firmanNya:
Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup (QS. Ar Ruum:19)
Pengertian al-Hayy (yang hidup) dalam surah
ar-Rumm ini tidak seperti pengertian al-Hayy (Yang Maha Hidup) dalam
surah al-Baqarah yang disebutkan sebelumnya.
Dalam ayat lain, Allah menamakan diriNya 'Aliim, Haliim (Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun), dan Dia memberikan nama kepada sebagian
hambaNya dengan nama 'Aliim, seperti dalam firmanNya:
وَبَشَّرُوهُ
بِغُلاَمٍ عَلِيمٍ
dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan
kelahiran seorang anak yang alim (Ishak). (QS. Adz Dzariyaat :28)
Maksudnya: Nabi Ishaq. Sebagaimana Dia juga menamai
yang lain Halim, seperti dalam firmanNya:
فَبَشَّرْنَاهُ
بِغُلاَمٍ حَلِيمٍ
Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak
yang amat sabar. (QS. Ash-Shaaffaat :101)
Maksudnya: Ismail. 'Aliim dalam ayat di atas
bukan seperti al-'Alim yang merupakan asma` Allah, dan Halim
dalam ayat di atas bukan seperti pengertian al-Halim yang merupakan
salah satu dari asma Allah.
Dan Allah menamakan diri-Nya Samii' dan Bashiir
dalam firman-Nya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisaa`:58)
Dan Dia menamai sebagian makhluk-Nya dengan nama
'samii' dan bashir' dalam firmanNya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan
larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
(QS. Al-Insaan :2)
As-Samii' dalam ayat ini
bukan seperti as-Samii' yang merupakan salah satu dari asma` Allah yang
disebutkan dalam ayat sebelumnya. Demikian pula al-bashiir dalam ayat
ini tidak sama pengertiannya dengan al-Bashiir yang merupakan salah satu
asma` Allah I yang dalam surah an-Nisaa` yang disebutkan sebelumnya.
Dia menamai diri-Nya dengan nama ar-Ra`uf dan ar-Rahim,
seperti dalam firman-Nya:
إِنَّ
اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفُُ رَّحِيمُُ
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada manusia. (QS. Al-Baqarah:143)
Dan Dia memberi nama kepada sebagian makhluk-Nya dengan nama ar-Ra`uf
ar-Rahim dalam firmanNya:
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari
kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mu'min. (QS. At-Taubah:128)
Sifat ar-Ra`uf pada ayat sebelumnya tidak seperti
sifat ra`uf pada ayat ini, dan sifat Rahimrahim para ayat ini.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: 'Nama-nama yang digunakan kepada Allah I dan
kepada hamba, seperti al-Hayy, as-Samii', al-Bashiir, al-'Aliim, al-Qadiir dan
yang semisalnya, ada tiga golongan dalam memandangnya:
a. Segolongan dari
mutakallimin berkata: ia adalah hakikat pada hamba dan majaaz pada Rabb. Ini
adalah pendapat kaum Jahmiyah yang ekstrim. Ini adalah ucapan yang paling keji
dan paling merusak.
b. Pendapat sebaliknya, nama-nama
itu adalah hakikat pada Rabb, majaaz pada Rabb. Ini adalah pendapat Abul-Abbas
an-Naasyi.
c. Sesungguhnya nama-nama itu adalah
hakikat pada Rabb dan hamba, dan inilah pendapat ahlus-sunnah. Perbedaan dua
hakikat pada keduanya tidak mengeluarkannya dari kondisinya yang merupakan
hakekat pada keduanya. Bagi Rabb dari nama-nama itu yang sesuai dengan
kebesaran-Nya, dan bagi hamba dari nama itu yang sesuai dengan kapasitasnya
sebagai hamba.
9. Urutan menjaga (menghapal, memahami dan
mengamalkan) Asma Allah Yang Maha Indah. Barangsiapa yang menjaganya niscaya
masuk surga.
Ini adalah keterangan penghapalan asmaNya 'barangsiapa
yang menghapalnya niscaya masuk surga'.
Pertama: menghapal lafazh dan bilangannya.
Kedua : Memahami makna dan yang diindikasikannya.
Ketiga: Berdoa dengannya, seperti firman Allah:
وَللهِ
اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah
kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu. (QS. Al A'raaf:180)
Terdapat dua martabat: pertama, adalah memuji dan
beribadah. Kedua, do'a meminta dan memohon. Dia tidak dipuji kecuali dengan
asmaNya Yang Husna dan SifatNya Yang Maha Tinggi. Demikian pula Dia tidak
diminta kecuali dengannya. Tidak boleh berdo'a dengan kata-kata: 'Hai yang ada
(maujud), hai sesuatu, atau hai Dzat ampuni dan kasihilah aku'. Tetapi Dia
diminta dengan nama yang sesuai dengan permintaan. Yang Berdo'a bertawassul
kepadaNya dengan nama itu. Siapa yang memikirkan do'a para rasul, apabila doa
Nabi Muhammad, ia akan mendapatkan doa-doa tersebut sesuai dengan penjelasan di
atas.
Kita memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing kita kepada cahayaNya dan
memudahkan jalan bagi kita untuk mendapatkan keridhaanNya, sesungguhnya Dia
sangat dekat dan Maha Mengabulkan doa hambaNya.
Beliau
KH. Badawi Hanafi lahir di kampung Brengkelan, kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah sekitar tahun 1885 M.
2)Nasab
Nasab
beliau adalah KH. Badawi Hanafi bin KH. Fadlil bin H. Asyari (Sengari) bin
Soyudo bin Gagak Handoko bin Mbah Bedug (Keturunan Mataram/Yogya).
Ayah
beliau, KH. Fadlil adalah seorang pedagang pakaian, dilahirkan di kota Purworejo, Jawa
Tengah + Tahun 1847. Beliau berbadan tinggi besar, berkumis, berjenggot
panjang, dan bersimbar (dada berambut).
Mbah
KH. Fadlil dikenal sebagai sosok yang rapi, sangat khusyu' dalam
beribadah, suka berdzikir. Walaupun
waktu berjualan dipasar, beliau tidak pernah lepas dari tasbihnya.
Beliau
juga dikenal sebagai sosok yang ramah kepada siapapun, tawadu` dan juga suka
menolong kepada fakir miskin, dan suka memberikan pinjaman kepada
pedagang-pedagang kecil dengan tidak minta keuntungan sedikitpun dari pinjaman
yang diberikan. Tidak suka menagih pinjaman walaupun beliau memerlukannya
Pekerjaan
sehari-hari beliau adalah berdagang kain. Beliau suka berdakwah Islamiyyah,
sehingga sambil berjualan, beliau melaksanakan dakwah.
Mbah
KH. Fadlil berasal dari Purworejo, kemudian hijrah ke Kesugihan pada tahun 1910
dan bertempat tinggal di sebuah dusun di desa kesugihan yang benama Salakan,
tepatnya di sebelah utara lapangan sepak bola Kesugihan sekarang. Pada tahun
1914 beliau pindah kedusun Platar, sebelah selatan stasiun Kereta Api jurusan
Cilacap (atau sebelah utara komplek Raudhotul Qur`an (RQ) putra PPAI sekarang)
Pada
tahun 1923, hari Selasa Manis, tanggal 28 Ramadlan terjadi gempa bumi yang
sangat dahsyat, banyak pohon besar yang tumbang, rumah banyak yang roboh,
termasuk stasiun kereta api Maos. Atas pertolongan Allah SWT, langgar duwur
yang didirikan oleh KH. Fadlil tetap tegak termasuk gentingnya tidak ada yang patah atau jatuh, pada waktu itu
langgar duwur sedang ditempati untuk pengajian oleh Kyai Muda Badawi, putra
laki-laki kedua dari mbah KH. Fadlil.
Adipati
Cilacap pada waktu itu R. Cakra Wardaya menyempatkan untuk meninjau
tempat-tempat yang terkena musibah gempa bumi tersebut, terharu melihat langgar
duwur itu tidak roboh, sedangkan bangunan yang dianggap lebih kuat
porak-poranda akibat terjadinya gempa tersebut. Ditengah-tengah haru dan
keheranan tersebut, Bapak Adipati pada waktu itu mengatakan "Besok
ditempat ini akan berdiri Masjid Besar". Dari sinilah mulai terkenal
langgar duwur.
Alhamdulillah
Allah SWT mengabulkannya, Mbah KH. Badafi Hanafi beserta kerabat, santri dan
masyarakat pada hari senin wage tahun 1936 dapat mendirikan Masjid di pondok.
Pada
tahun 1927 bulan rojab hari Senin wage jam 14.00 Mbah Nyai H. Fadlil (Shofiyah
binti KH. Abdul Syukur) wafat, dan pada tahun 1937 pada bulan rajab juga,
tepatnya hari senin wage jam 06.00 pagi
beliau mbah KH. Fadlil dipanggil menghadap Allah SWT.
3)Pendidikan
Beliau
menuntut ilmu di beberapa Pondok Pesantren, yaitu :
1.Pondok Pesantren Wono Tulus , Purworejo (Tahun 1891-1894 M)
KH.
Badawi Hanafi, waktu kecil, ketika umurnya 7 tahun, tepatnya pada tahun 1891
dititipkan pada KH. Fadlil Pengasuh Pondok Pesantren Wono Tulus, tempatnya di desa Wono Tulus, Purworejo,
jaraknya sekitar 4 km dari rumah beliau untuk diajari membaca al-Qur'an yang
baik dan disekolahkan disekolah ongko loro[1].
Pondok ini, disamping mengajarkan
al-Qur'an, juga mengajarkan beberapa disiplin ilmu agama lain, seperti
ilmu ushuluddin (Tauhid), fiqih dll. Pada waktu itu, pondok pesantren tersebut
diasuh oleh KH. Fadlil, menantu dari KH. Ahmad Nur, putra KH. Imam Puro (Imam Maghfuro), orang
pertama yang dakwah Islam didaerah Purworejo. KH. Imam Puro masih keturunan Ki
Ageng Pemanahan, Mataram. Menurut cerita,
KH. Fadlil ini adalah santri kinasih KH. Imam Puro.
Sebagai
seorang ulama yang sangat sabar dan telaten mengajari murid-muridnya, KH. Imam
Puro selalu mengawasi perkembangan santri-santrinya dalam mengaji. Pada suatu
malam, ketika KH. Imam Puro sedang keliling mengawasi santri-santrinya yang
sedang tidur, beliau melihat ada sinar terang yang keluar dari pusar salah
seorang santrinya. Kemudian beliau menyobek sarung santri tersebut. Pada siang
harinya, Beliau mengumpulkan santri-santrinya dan bertanya ; Siapa yang
sarungnya sobek tadi malam ? Fadlil mengacungkan jarinya. Kemudian oleh Beliau,
Fadlil dijodohkan dengan cucunya, yaitu putri dari KH. Ahmad Nur. Dari
pernikahan tersebut KH. Fadlil dikaruniai 9 orang putra, yaitu
: KH. M. Thohir (Wono Tulus), KH. M.
Sholeh (Klamudan, Karang Rejo, Loano, Purworejo ayah Ny. Khotijah Nadzir,
Kebarongan), Nyai Maryam/Nyai Mu'ti (Kedungdowo, Trirejo, Loano), KH. Bakri
(Ds. Karangrejo, Kutoarjo, Purworejo). KH. Muhsin (Winong, Kemiri, Purworejo),
KH. Ali (Kali geseng, Kemiri, Purworejo), KH. Abu Yahya (meninggal di Makkah),
KH. Mahmud (Wono Tulus), KH. Ahmadi (Gintungan, Gebang, Purworejo) .
Setelah
menikah, KH. Fadlil diminta oleh masyarakat untuk berdakwah di desa wono
Tulus. Beliau kemudian membangun sebuah
masjid pada tahun 1870, kemudian karena
banyaknya santri yang berdatangan dari berbagai pelosok daerah ingin mengaji
pada beliau, akhirnya dibangunlah Pondok Pesanren Wono Tulus pada tahun itu.
Sepeninggal
KH. Fadlil pada tahun 1920, Pondok Wono
Tulus diasuh oleh putra pertama beliau, yaitu KH. M. Thohir (alias Bahrun,
meninggal tahun 1955), kemudian
dilanjutkan oleh putra KH. M. Thohir, yaitu KH. Nur Abbas (meninggal tahun
1998), dan sekarang diasuh oleh putra KH. Nur Abbas, yaitu K. Toha.
Namun
Pondok Pesantren Wono Tulus tersebut, sekarang sudah tidak ada, yang ada
tinggal Masjid. Tepatnya tahun 1942, waktu itu masih diasuh oleh KH. Thohir,
ketika jepang datang menjajah, santri-santri yang mengaji di Pondok ini bubar.
Ini tidak lain karena kekejaman penjajah jepang.
Waktu
itu, KH. Badawi Hanafi termasuk santri kalong[2].
Sehingga, agar dapat mengaji, beliau
yang waktu itu umurnya masih tujuh (7) tahun,
rela berjalan kaki, pulang–pergi dari rumahnya ke Pondok setiap hari,
yang jaraknya sekitar 4 km. Disamping itu, untuk sampai ke Pondok juga tidak
mudah, karena untuk sampai ke Pondok tersebut, beliau harus menyeberangi sungai
Bogowonto yang tak berjembatan. Namun karena tekad dan semangat yang kuat,
beliau tetap aktif berangkat. Pernah pada suatu hari, ketika hari hujan, Sungai Bogowonto tersebut
banjir, dengan tekat yang besar beliau tetap menyeberanginya meskipun beliau
tidak bisa berenang agar tetap dapat mengaji.
Setelah
beberapa lama beliau mengaji di Wono Tulus, kurang lebih selama tiga tahun,
tepatnya pada tahun 1893, beliau akhirnya dapat menyelesaikan pengajian
al-Qur'an-nya dan lulus sekolah ongko loro, yakni ketika beliau berumur
9 tahun. Selesai mengaji al-Qur'an, beliau kemudian mengaji dirumah beliau
kepada Sang Ayah sampai berusia 11 tahun.
2.Pondok Pesantren Loning, Purworejo (Tahun 1895-1901 M)
Setelah
KH. Fadlil dan istrinya, Ny. H. Shofiyyah merasa anaknya sudah cukup besar,
beliau bertekad bulat mendidik putranya untuk memberikan ilmu-ilmu agama dengan
menitipkannya di Pondok Pesantren.
Melihat
semangat anaknya (KH. Badawi Hanafi) yang luar biasa dalam mengaji, pada tahun
1895, ketika beliau berumur 11 tahun, yaitu dua tahun setelah beliau
menyelesaikan pengajian al-Qur'an di Pondok Pesantren WonoTulus, beliau
dipondokkan di Pondok Pesantren Loning, yang waktu itu diasuh oleh KH. Abdulloh
Mukri dengan dibantu adik-adiknya, yaitu K . Syamhudi, K. Sahlan, dan K. Abdullah Mahlan, cucu-cucu Imam
Rofi'i.
Pondok
Pesantren ini didirikan didesa Loning, Purworejo (jauhnya 10 km dari rumah KH.
Badawi hanafi) sekitar tahun 1800, oleh Raden Muhammad H. Rofi'i (paman
Pangeran Diponegoro , guru Imam Puro yang dikenal dengan sebutan tuan guru Imam
Rofi'i) bin Pangeran Hangabehi bin Sunan
Amangkurat IV bin Sunan Pakubuwono I bin Sunan Amangkurat I bin Sultan Agung
Hanyokrokusumo bin Sinuhun Sedo Krapyak bin Panembahan Senopati bin Ki Ageng
Pemanahan. Sebelum berdakwah di
Loning, Tuan Guru mengaji di Makkah,
sekitar 25 tahun. Tuan Guru terkenal orang yang sangat mumpuni tentang bacaan
Al-Qur'an. Imam Puro sendiri mengaji al-Qu'an
kepada beliau.
Adapun
ayah beliau, Pangeran Hangabehi, yang dikenal dengan KH. Ageng Mlangi/Mbah
Sandiyo/Mbah Nurul Iman adalah orang yang pertama yang dakwah Islam di daerah
Mlangi (sekarang makamnya ada disana)
Pondok
Pesantren Loning ini pertama diasuh oleh Tuan Guru Imam Rofi'i, kemudian dilanjutkan oleh menantunya (K.
Sangid) dan putra-putra beliau (setelah mereka besar), yaitu K. Mahmud, K.
Soleh, dan K. Bustomi. Pada periode berikutnya, yaitu sekitar tahun seribu sembilan
ratusan dteruskan oleh cucu-cucu Tuan Guru yaitu : K. Abdullah Mukri, K.
Samhudi, K. Sahlan, dan K. Abdullah Mahlan. Pada periode K. Abdullah Mukri
inilah, KH. Badawi Hanafi mondok disini.
Alumni-alumni
Pondok Loning adalah pendiri-pendiri pondok di daerah jogja, semarang,
magelang dan sekitarnya antara lain Syeh Sholeh Darat Semarang.
Bangunan
Pondok Loning yang dulu, sekarang sudah tiada. Yang ada sekarang adalah
masjidnya yang diasuh oleh putra K. Samhudi, yaitu KH. Nasrudin serta Pondok
Pesantren Loning baru dan Madrasah Diniyyah yang didirikan oleh KH. Nasrudin
pada tahun 1965.
Di
Pondok ini, KH. Badawi Hanafi sudah bukan lagi santri kalong. Beliau tidak lagi
pulang pergi tiap hari untuk mengaji, tapi disini beliau telah menetap di dalam
salah satu kamar Pondok Pesantren. Beliau sangat jarang pulang kerumah, kecuali
kalau ada keperluan yang sangat penting, itupun dengan jalan kaki. Beliau
adalah orang yang sederhana, tidak suka bermewah-mewah.
Pada
waktu disini, beliau masih diberi bekal
oleh orang tuanya. Beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan yang mungkin tiada
duanya tersebut. Beliau manfaatkan sebaik-baiknya dengan tekun mengaji. Karena
tidak sembarang orang yang mau membiayai anaknya untuk keperluan mengaji. Ada orang yang punya
harta banyak ingin membiayai anaknya mengaji, tapi anaknya tidak mau. Ada lagi yang anaknya
punya kemauan kuat untuk mengaji, tapi orang tuanya tidak mampu atau tidak
mendukungnya. Jadi beliau tidak mau menjadi orang yang merugi, dengan
mengabaikan kesempatan yang ada.
Selama
enam (6) tahun lamanya, beliau mengaji berbagai disiplin ilmu agama disini,
antara lain : bacaan Al-Qur'an, ilmu ushuluddin (ilmu tauhid), ilmu-ilmu alat, ilmu fiqih dll.
3.Pondok Pesantren Bendo, Kediri
(Tahun 1901- 1921 M)
Begitu
cintanya beliau pada ilmu agama, setelah beliau mengaji dengan tekun berbagai
ilmu agama di Pondok Loning, beliau tidak lekas merasa cukup dengan ilmu yang
telah ia kaji. Beliau selalu merasa kurang dalam menuntut ilmu. Beliau punya
keyakinan bahwa ilmu Allah itu tidak akan ada habis-habisnya. Kesemangatan dan
tekad beliau yang kuat inilah yang menjadi penyebab Allah menganugerahinya
sebagai sosok yang `alim.
Hal
tersebut terbukti manakala usia beliau menginjak umur 17 tahun, tepatnya tahun
1901, dari Pesantren Loning, beliau melanjutkan mengaji di Pondok Bendo, Kediri, Jawa Timur.
Pada
waktu beliau mengaji, Pondok Pesantren ini diasuh oleh Syekh Khozin, adik Syekh
Dahlan Jampes.
Syekh
Khozin adalah seorang ulama yang ahli dalam berbagai ilmu agama. Beliau
termasuk seorang tokoh sufi pada waktu itu. [3]
Sehingga KH. Badawi Hanafi banyak belajar ilmu tasawuf pada beliau.
Sebagaimana
di Loning, beliau disini juga menetap, bukan sebagai santri kalong.
Dalam usia tersebut, beliau sudah sangat dewasa, beliau tidak hanya memikirkan
dirinya sendiri, tapi beliau ikut merasakan betapa susah kedua orang tuanya
mencarikan uang untuk mencukupi kebutuhannya dalam mengaji di Pondok Loning.
Oleh karena itulah, selama 20 tahun beliau mengaji dipondok ini, beliau tidak
pernah meminta bekal pada kedua orang tuanya.
Hal itu karena beliau tidak ingin membebani mereka. Dan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya selama mengaji, beliau bekerja sebagai tukang memperbaiki
jam, menjahit dan ngedok[4] ,
sebagai sambian (pekerjaan sampingan).
Hasil dari pekerjaan tersebut tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan
pribadinya selama mengaji, tapi juga disisakan untuk ditabung dan dikirimkan
kerumah untuk membantu orang tua.
Pada
waktu mengaji di Pondok Bendo ini, beliau termasuk santri senior kesayangan
Syekh Khozin. Beliau sering ditunjuk
oleh syekh Khozin untuk mengimami shalat, ketika sedang berhalangan. Pernah
seorang santri baru (K. Syujangi Purbalingga) mengamati beliau, ia kagum terhadap
seorang santri yang ditunjuk Syekh Khozin untuk mengimami, dalam hati ia
bertanya ; Apakah orang yang mengimami tadi adalah orang yang tadi siang
menjadi tukang batu ? Selidik punya selidik ternyata dugaannya tidak meleset[5].
Memang disamping pandai mengaji, beliau memiliki banyak ketrampilan, salah
satunya adalah sebagai tukang batu. Ketrampilan tersebut beliau manfaatkan
untuk membangun Pondok Bendo.
Walaupun
beliau menetap di Pondok Bendo, tetapi beliau juga mengaji jolok
(mengaji dan menempat disuatu pondok sambil mengaji di pondok yang lain) di Pondok Jampes, yang ditempuh beliau dengan
jalan kaki, padahal jaraknya agak jauh, sekitar 12 km. Waktu itu beliau mengaji
ilmu falak/ilmu hisab pada syekh Dahlan, sampai beliau memahami ilmu tersebut.
Setelah
KH. Badawi Hanafi belajar di Pondok Pesantren ini selama kurang lebih 20 tahun
lamanya, yaitu sampai tahun 1921, Syekh Khozin memerintahkan beliau untuk
pulang berdakwah dimasyarakat. Waktu beliau akan pulang, Syekh Khozin
mengantarkannya sampai kestasiun[6].
Hal ini tidak lain karena beliau adalah santri kesayangannya.
4.Pondok Pesantren Lirap
Setelah
didawuhi untuk pulang, beliau tidak langsung menetap dirumah, akan
tetapi beliau mondok dulu di pesantren Lirap, Kebumen. Waktu itu Pondok Lirap
diasuh oleh Simbah KH. Ibrahim. Kurang lebih tiga tahun lamanya, beliau mondok
disini, yaitu dari tahun 1921-1924 M.
Selain
untuk menuntut ilmu, disini beliau sambil riyadloh mencari tempat yang
tepat untuk digunakan berdakwah. Ada bebarapa daerah yang
beliau tirakati untuk digunakan tempat berdakwah, mendirikan Pondok
Pesantren, antara lain : Kuripan, Cilacap kota
(dekat daun lumbung), Sumur Gemuling, Sitinggil, dan Kesugihan. Dari beberapa
tempat tersebut, akhirnya beliau mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk menempat
berdakwah di Kesugihan, tempat orang tuanya tinggal. Setelah menemukan tempat
yang tepat tersebut, akhirnya tahun 1924 beliau memutuskan untuk pulang.
4)Pendirian Pondok
Setelah
kepulangan beliau dari Pondok Lirap, sebelum bulan Ramadlan tahun 1343 H/tahun
1924 M, atas kesepakatan warga masyarakat platar dan lemah gugur, didirikanlah
Pondok Pesantren.Namun pendirian Pondok tersebut baru disahkan pemerintah yang
berpusat di Banyumas pada tanggal 24 November 1925 M /1344 H.
Pada
waktu itu, bangunan pondoknya hanya terdiri dari beberapa kamar, dengan ruangan
tengah yang cukup lebar untuk mengaji dan KH. Badawi menempati salah satu kamar
tersebut. [7]
Pada
tahun 1936 beliau membangun sebuah masjid, dan langgur duwur yang tadinya
digunakan untuk shalat jamaah dibongkar.
5)Pernikahan KH. Badawi Hanafi
Setahun
dari pendirian pondok, kemudian beliau berpikir untuk mendapatkan seorang
pendamping hidup. Setelah beliau meminta petunjuk pada Allah SWT melalui shalat
istikharah, akhirnya beliau diberi petunjuk oleh-Nya untuk menikah dengan
seorang wanita shalihah yang bernama Nyai 'Aisyah Badriyah, putri seorang Kyai
yang kaya raya, yaitu KH. Abdullah Mukri dari Kebarongan.
Setelah
beliau selidiki, wanita yang ditunjukkan Allah SWT. tersebut ternyata sudah
dilamar oleh seorang putra seorang Syekh dari Makkah, bahkan hari perkawinannya
sudah ditetapkan. Namun beliau tetap berkeyakinan bahwa petunjuk Allah SWT
pastilah benar, tidak mungkin meleset.
Ternyata
apa yang beliau yakini menjadi kenyataan. Jadwal pernikahan yang sudah
direncanakan dengan matang akhirnya tidak menjadi kenyataan. Karena pada tahun
itu, adiknya Nyai 'Aisyah (Gus Syahid)
meninggal dunia, dan menurut adat jawa, tidak diperbolehkan menikah pada tahun
itu. Sehingga pihak keluarga sepakat untuk menunda pernikahan sampai tahun
depan. Mendengar keputusan tersebut, calon pengantin pria yang sudah memutuskan
harus menikah pada tahun itu akhirnya mencabut lamaran dan menikah dengan
wanita lain.[8]
KH.
Badawi Hanafi yang sangat yakin dengan kebenaran petunjuk Allah tersebut,
kemudian memberanikan diri untuk melamar. Apa hasilnya ? ibarat gayung
bersambut, beliau yang waktu itu bermodalkan keyakinan, tidak bermodalkan
harta melimpah, yang kalau dalam masalah harta bagaikan pungguk merindukan
bulan, lamarannya diterima dengan suka cita oleh wanita shalihah tercinta, Nyai
'Aisyah Badriyah dan anggota keluarganya, Subhan-Alloh. Akhirnya pada tahun
1926 M beliau melangsungkan pernikahan dengan Nyai 'Aisyah Badriyah.
6)Putra-Putri KH. Badawi Hanafi
Dari
pernikahan beliau dengan Nyai 'Aisyah beliau dikarunia 14 putra-putri,
yaitu :
a.Nyai Hj. Nasiroh, istri K. Muchson (Pengasuh PP. Al Ihya
'Ulumaddin Kesugihan)
b.Nyai Hj. Murtajiaturrohmah, istri KH. Abdul Wahhab (Pendiri dan
Pengasuh PP. Manarul Huda, Kesugihan)
c.K. M. Musthofa Al-Makki
d.Nyai Ma'unah, istri KH. Abdurrahim (Pendiri dan Pengasuh PP.
Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Wawa Barat)
e.Nyai Hj. Mumbasithoh, istri KH. Abdurrahim (Pendiri dan
Pengasuh PP. Al-Azhar Citangkolo, Banjar, Wawa Barat)
f.KH. Ahmad Mustholih Badawi (Pengasuh PP. Al Ihya 'Ulumaddin
Kesugihan setelah KH. Muchson)
g.KH. Chasbullah Badawi (Pengasuh PP. Al Ihya 'Ulumaddin
Kesugihan sekarang)
h.K. Mukhtaruddin
i.Ning Mutammimah (meninggal waktu kecil)
j.Nyai Hj. Muttasingah, istri KH. Zaini Ilyas (Pendiri dan Pengasuh
PP. Miftahul Huda, Pesawahan, Rawalo)
k.Nyai Hj. Marhamah,istri KH. Abdul Qohar (Pengasuh PP. Syamsul Huda, Kedungreja)
l.Gus Amir (meninggal waktu kecil)
m.Gus Markhum (meninggal waktu kecil)
n.Nyai Hj. Kholisoh, pernah bersuamikan :
KH. Salim, K. Abd. Rozak,
K. Sholeh, K. Habib, K. Satori, K. Masrur.
7)Riyadlah KH. Badawi Hanafi
Kebesaran
beliau ternyata tidak muncul dengan tiba-tiba. Ada proses panjang yang dilalui beliau sampai
namanya dikenang hingga sekarang. Bentuk-bentuk riyadlah (melatih diri
mengekang hawa nafsu menuju ridla Allah SWT) beliau sangat bermacam-macam, antara lain :
a.Beliau selalu mujahadah setiap malam (قيام
الليل)[9]
Jadi, waktu malam
yang panjang tidak beliau gunakan untuk ngobrol ngalor-ngidul (bicara
kesana kemari) yang tidak ada
manfaatnya, tapi beliau gunakan untuk muthala'ah kitab dan mujahadah (shalat,
dzikir dsb).
b.Rajin shalat berjama'ah, Beliau dikenal sebagai orang yang
sanyat tekun dan rajin dalam menjalankan shalat jama'ah.
c.Makannya sedikit
Sebagaimana manusia
biasa, tentunya beliau juga memerlukan kekuatan agar dapat beribadah kepada
Allah SWT yang mana kekuatan tersebut dapat diperoleh dari makanan. Namun
apabila terlalu banyak, akan berakibat yang tidak baik, karena ada beberapa
bahaya yang dapat ditimbulkan dari
kebanyakan makan, antara lain banyak menimbulkan berbagai macam penyakit
dan menghilangkan kecerdasan[10].
Disamping itu, apabila perut terlalu kenyang, syahwat akan besar sehingga mudah
terbujuk oleh godaan syetan. Padahal mencari ilmu itu tidak lain adalah untuk
mendapatkan ridla dari Allah SWT . Beliau tetap masak nasi itupun dicampuri
krikil, hanya agar tidak dianggap priatin oleh orang lain. . [11]
d.Beliau sangat aktif mengaji dan selalu gasang[12].
Misalnya,
sewaktu kecil, ketika beliau mengaji di Pondok Wono Tulus, terjadi hujan deras
dan sungai yang harus beliau lalui agar dapat sampai di Pondok tersebut
meluap. Akhirnya beliau nekad berenang menyeberangi sungai tersebut agar
tetap dapat mengaji.[13]
Dan juga pernah suatu hari di Pondok Bendo, sewaktu beliau mengaji kitab Ihya
'Ulumiddin, karya Imam Ghozaly, dalam kondisi sakit yang cukup parah, beliau
memaksakan diri untuk tetap mengaji dengan minta digotong pada teman-temannya
ketempat pengajian. Melihat hal itu, KH. Khozin sangat iba, sehingga akhirnya
beliau meliburkan pengajian sampai sakitnya sembuh. Dalam mengaji Bandungan
kitab tersebut, tidak ada satupun korasan (lembaran-lembaran kitab) yang
terlewatkan, Semua isi kitab beliau kaji dengan tekun, tidak ada yang
ketinggalan sedikitpun. [14]
Disamping beliau tekun mengaji, beliau
juga sangat ta'dzim (menghormati) Guru. Waktu mondok di Bendo, beliau
sering membantu Syekh Khozin. Beliau adalah orang yang dipercaya untuk
mencucikan baju dan menyiapkan air untuk mandi Syekh Khozin. Beliau dengan tekun setiap hari, mengisi kulah-kulah
(kamar Mandi) yang ada di ndalem.[15]
Ini adalah dalam rangka mencari ridlo Guru. Karena buat apa mendapat ilmu yang
banyak jikalau Gurunya tidak meridloi. Bagaimanapun juga, kita akan sulit
mengetahui kebenaran, tanpa bantuan dan bimbingan seorang Guru, karena beliau
tentunya lebih mengetahui apa yang terbaik dan akan memberikannya untuk sang
murid.
بسم الله الرحمن الرحيم
كـتاب نية اعسون
عاجي
Karya : Romo KH. Badawi Khanafi
Niyat
ingsun ngaji, sing jeneng ngaji iku nular kaweruh belajar kepinteran
agama Islam sing munggueh gusti Alloh, lan utusane gusti Alloh. Yoiku agomo
kang cocok karo dawueh Qur’ane gusti Alloh, lan Hadise utusane gusti Alloh,
kang ketoto poro sohabate utusane gusti Alloh lan tabingin tabingihim, ngulama
salaf lan ahli madzhab, kang ngumpulaken limang perkoro,ditekodaken ono ing ndalem ati, diucapaken ono ing lisan, ditandangi nganggo badan. Rupinipun limang
perkoro : sewiji moco syahadat loro, kaping pindo sholat limang wektu ingndalem
sedina sa’wengine kelawan netepi syarat rukune, kaping telu zakat fitrah
kelawan netepi syarat rukune, kaping papat puoso wulan romadon kelawan netepi
syarat rukune, kaping lima haji maring baitulloh, kelawan netepi syarat rukune.
Agama
Islam mau penggaweane wong ngéngér maring gusti Alloh. Kito putro wayah Adam,
rumongso ngéngér, rumongso dadi kawulo. Dengere yen kito rumongso ngéngér dadi
kawulo, kerono kito rumongso digawe lan rumongso dicukupi, yoiku didadeake ono ing wetenge biyunge, dibabarake, diparingi rizqi powan
soko biyunge, mundak-mundak gede, manggon ono ing bumine gusti Alloh, mangan
pepanganane gusti Alloh, ngombe banyune gusti Alloh, nyandang sesandangane
gusti Alloh, ngalap padang srengenge, rembulan, lintang, lan liya-liyane, kabeh
iku kagungane gusti Alloh.
Tetep
kito ngéngér, tetep kito dadi kawulo. Patrapané wong ngéngér dadi kawulo,
nyambut gawé manut tata hukumé pangéran kang dingéngéri. Kito bakal bali ketemu
pangéran kang dingéngéri. Yén kito wis
nyambut gawé bener, manut tata hukumé pangéran kang dingéngéri, ora didukani,
didawuih nganggur, manggon ono ing panggonan kang kepénak, énak, bungah,
seneng, rejo, mulyo sa’lawase, yoiku sing jeneng suwargo.
Yén
kito ora nyambut gawé bener, ora manut tata hukumé pangeran kang dingengeri,
bakal bali ketemu pangeran kang dingengeri, didukani, didawuih manggon ono ing
panggonan kang loro, rekoso sa’lawas lawase, yoiku sing jeneng Neroko.
Ing
saréhning agama Islam mau kumpulé limang perkoro, kang dingin moco syahadat
loro; tegesé nekséni anané gusti Alloh lan utusané gusti Alloh. Yén mengkono
wau wiwit wajib ipun tiyang mukallaf puniko ma’rifat dateng gusti Alloh lan
dateng utusané gusti Alloh.
Ingkang
nami ma’rifat puniko i’tikod ingkang kukuh, ingkang cocok kawontenanipun,
ingkang dipun tékodaken, ingkang medal saking dalil pemanggiéh ponco ndriyo.
Ma’rifat mau tembung ngarob, coro
jawinipun nyumerapi dateng gusti Alloh, lan dateng utusanipun gusti Alloh,
kelawan nganggo peningaling manah, ingkang medal saking dalil pemanggiéh ponco
ndriyo.
Ing
saréhning wiwit wajib ipun tiyang mukallaf puniko ma’rifat dateng gusti Alloh,
lan dateng utusanipun gusti Alloh. Yén mekaten kulo inggih nyumerapi ingkang
nami gusti Alloh puniko dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat
sempurno, mboten kekirangan, mboten kénging dipun koyo-koyo, mboten rupo,
mboten werno, mboten kontho, mboten arah, mboten enggen, cekap kulo tékodaken
wonten ing manah, kulo ucapaken ing lisan, kulo panggih, kulo raos nganggo
peningaling manah kémawon, kulo lampahi ngangge badan.
Dalilipun saged kulo sumerapi, ingkang nami gusti Alloh
puniko dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat sempurno, mboten
kekirangan. Saking kulo pikir, kulo nalar, kulo tingali saking badan kulo
pinyambak, lan sanés-sanésipun, rupinipun : bumi, langit lan saisinipun. Déné
pemikir kulo, penalar kulo, saking badan kulo piyambak, mekaten kulo
wau–waunipun mboten wonten, sa’puniko lajeng wonten. Mongko pundi–pundi
perkawis ingkang wau–waunipun mboten wonten lajeng wonten dipun wastani
perkawis énggal. Mongko pundi-pundi perkawis enggal mboten saged enggal
piyambak, kedah wonten ingkang ngénggalaken. Déné ingkang ngénggalaken mesti
kémawon mboten sami kelayan ingkang dipun énggalaken. Lah, inggih puniko
ingkang ngénggalaken kulo ingkang nami gusti Alloh, dzat setunggal, mesti
wontenipun, ketetepan sifat sempurna, mboten kekirangan.
Dalilipun malih saged kulo sumerapi, ingkang nami
gusti Alloh puniko dzat setunggal, mesti wontenipun, ketetepan sifat sempurna,
mboten kekirangan. Saking kulo pikir, kulo nalar, kulo tingali saking bumi
langit sa’isinipun. Déné pemikir kulo, penalar kulo saking bumi
saisinipun, mekaten bumi langit sa’isinipun kulo pikir–pikir nami perkawis énggal. Saged kulo sumerapi bumi langit
sa’isinipun nami perkawis énggal,
kerono kulo tingali ketetapan sifat énggal. Rupinipun sifat énggal
: obah, meneng, lan owah-owah. Rupinipun owah-owah : siang, ndalu, padang,
peteng, iyub, bentér, jawah,
terang, andap, inggil, lan sanés-sanésipun. Sa’puniko kaleres meneng, ndalu,
peteng, terang, katah tiyang ngaos, lan sanés-sanésnipun. Mongko
pundit-pundi perkawis ingkang ketetepan sifat énggal inggih tumut énggal.
Mongko pundi-pundi perkawis ingkang enggal mboten saget énggal piyambak, kedah wonten ingkang
ngenggalaken. Dene ingkang ngenggalaken bumi langit sa’isinipun mesti mboten
sami kelayan bumi langit saisinipun. Lah, inggih puniko ingkang ngenggalaken
bumi langit sa’isinipun ingkang nami gusti Alloh, dzat setunggal, mesti
wontenipun, ketetepan sifat sempurna, mboten kekirangan.
Kulo nyumerapi poro utusanipun gusti Alloh. Déné poro utusanipun gusti Alloh puniko Menungso jaler kang merdéko, kang sempurna kedadosanipun, ingkang
mboten wonten celanipun, ingkang keparingan wahyu jali lan wahyu khofi. Déné gusti kulo, bendoro kulo, Nabi kulo, puniko kanjeng Nabi Muhammad SAW,
kaleres putranipun Kyai ‘Abdulloh, wayahipun Kyai ‘Abdul Mutholib, Ibunipun
Dewi Aminah, tedakipun bongso Quraisy. Kanjeng Nabi Muhammad dipun putraaken
wonten Mekah, dangu-dangu ageng, sepuh , dados nabi, dados utusan, dipun utus
mucal agami Islam wonten ing negari Mekah. Ingkang dipun wucal sedoyo jin lan
menungso. Sagedipun wradin dipun tular-tular aken. Rumiyinipun mucal
santrinipun ingkang nami shohabat, shohabat mucal santrinipun ingkang nami
tabi’in, tabi’in mucal santrinipun ingkang nami tabi’ihim, tabi’ihim mucal
santrinipun ingkang nami ‘ulama salaf, ‘ulama salaf mucal santrinipun ingkang nami ‘ulama kholaf,
sa’teras-terasipun, mucal-mucalaken henggo sa’priki, dumugi ing ngriki panggonan,
Pondok Pesantren Al-Ihya ‘Ulumaddin Kesugihan Cilacap /Pondok Pesantren Syamsul Huda Ciklapa Kedungreja Cilacap Jawa
Tengah / lan sanés-sanésipun. Dangu-dangu kanjeng Nabi Muhammad pindah wonten ing negari
Madinah, mucal agami Islam wonten ing Madinah. Dangu-dangu gerah, sedo, dipun saréaken wonten negari Madinah. Sa’sampunipun
sedo mboten wonten Nabi utusan malih henggo dumugi sa’priki ngantos dinten
kiamat. Dene wontenipun Nabi ‘Isa, mbenjang sa’caketipun dinten kiamat, namung
nerasaken piwucalipun kanjeng Nabi Muhammad. Sa’sampunipun kulo sumerapi
syahadat kalih, lajeng kulo nyumerapi ingkang nami sholat. Déné ingkang nami sholat punika pendamelanipun tiyang ngéngér maring Gusti Alloh. Lah inggih puniko pinten-pinten pengucap lan
pinten-pinten pendamelan ingkang dipun penganggéni syarat rukun, ingkang dipun kawiti takbirotul ihrom, ingkang dipun
pungkasi salam. Déné syarat wajib ipun sholat puniko wonten tigo
: setunggal Islam, kaping kalih baligh, kaping tigo nggadaih ngakal.
Kulo sumerapi sifat-sifatipun gusti Alloh. Dene
sifat-sifatipun gusti Alloh puniko kepérang
dados tigo : setunggal sifat wajib, kaping kalih sifat mustahil, kaping tigo
sifat jaiz. Déné sifat wajibipun gusti Alloh puniko mboten
wonten telas-telasipun, muhalipun sa’monten ugi.
Déné ingkang dipun wajibaken nyumerapi
saben-saben tiyang mukallaf puniko namung kalih doso, muhalipun inggih kalih
doso, jaizipun setunggal.
Wajib wujud muhal ‘adam, tegesipun mesti gusti Alloh
wonten, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh mboten wonten. Wajib qidam
muhal huduts, tegesipun mesti gusti Alloh dingin tanpo kawitan, mboten
pinanggih ngakal yen gusti Alloh anyar. Wajib baqo muhal thuruwul ‘adam,
tegesipun mesti gusti Alloh langgeng tanpo pungkasan, mboten pinanggih ngakal
yen gusti Alloh kenging rusak. Wajib mukholafatu lil-hawaditsi muhal
mumatsalatu lil-hawaditsi, tegesipun mesti gusti Alloh bénten kelayan perkawis énggal, mboten pinanggih ngakal yén gusti Alloh sami kelayan perkawis énggal. Wajib qiyamuhu binafsihi muhal al-la
yakuna qoiman binafsihi, tegesipun mesti gusti Alloh jumeneng piyambak, mboten
pinanggih ngakal yen gusti Alloh mboten jumeneng piyambak. Ingkang nami
jumeneng piyambak puniko mboten dipun damel dzat sanés utowo tumémpél dzat sanés. Wajib
wahdaniyah muhal al-la yakuna wahidan, tegesipun mesti gusti Alloh setunggal,
mboten pinanggih ngakal yén
gusti Alloh mboten setunggal. Ingkang nami setunggaling gusti Alloh puniko
mboten wewicalan kalih utawi tigo, utawi langkung katah, lan mboten kesusun-susun
dzatipun lan sifatipun. Wajib qudrot muhal ‘ajzu, tegesipun mesti gusti Alloh
kuoso, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh apes. Wajib irodat muhal ‘adamul
irodat, tegesipun mesti gusti Alloh kerso, mboten pinanggih ngakal yen gusti
Alloh kesereng. Wajib ‘ilmu muhal jahlu, tegesipun mesti gusti Alloh ngudaneni,
mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh bodo. Wajib hayat muhal maut, tegesipun
mesti gusti Alloh gesang, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh sedo. Wajib
sama’ muhal shomam, tegesipun mesti gusti Alloh midanget, mboten pinanggih
ngakal yen gusti Alloh tuli. Wajib bashor muhal ‘ama, tegesipun mesti gusti
Alloh ningali, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh wuto. Wajib kalam muhal
bakam, tegesipun mesti gusti Alloh ngendiko, mboten pinanggih ngakal yen gusti
Alloh bisu. Wajib qodiron muhal ‘ajizan, tegesipun mesti gusti Alloh dzat
ingkang kuoso, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat inkang apes. Wajib
muridan muhal ghoiro muridin, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang kerso,
mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat ingkang kesereng. Wajib ‘aliman
muhal jahilan, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang ngudaneni, mboten
pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat ingkang bodo. Wajib hayyan muhal
mayyitan, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang gesang, mboten pinanggih
ngakal yen gusti Alloh dzat ingkang sedo. Wajib sami’an muhal shomman,
tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang midanget, mboten pinanggih ngakal yen
gusti Alloh dzat ingkang tuli. Wajib bashiron muhal ‘amman, tegesipun mesti gusti Alloh dzat
ingkang ningali, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh dzat ingkang wuto.
Wajib mutakalliman muhal bakiman, tegesipun mesti gusti Alloh dzat ingkang
ngendiko, mboten pinanggih ngakal yén gusti Alloh dzat ingkang bisu.
Kulo nyumerapi sifat jaiz ipun gusti Alloh. Déné sifat jaiz ipun gusti Alloh puniko wonten setunggal, pang ipun wonten
sekawan, dados gangsal. Muhalipun jaiz inggih gangsal. Rupinipun sifat jaiz
setunggal : fi’lu wa tarku, pang ipun ‘adam ta’tsir bil-quwwah, ‘adam ta’tsir
bith-thob’i, hudutsul ‘alam biasrihi, yaf’alul asy-yaa’a la lighordin.
Muhalipun wujubul-fi’li wat-tarki, ta’tsir bil-quwwah, ta’tsir bith-thob’i,
qidamul-‘alam biasrihi, yaf’alul
ays-yaa’a lighordin. Jaiz fi’lu wa tarku muhal wujubul fi’li wa tarki,
tegesipun kenging-kenging kemawon gusti Alloh damel ngalam utawi tinggal damel
ngalam, mboten pinanggih ngakal yén gusti Alloh wajib damel ngalam utawi wajib tinggal damel ngalam. ‘Adam
ta’tsir bil-quwwah, muhal ta’tsir bil-quwwah, tegesipun mboten wonten
setunggaling ngalam ingkang saged ngelabeti kelawan kekiyatanipun piyambak,
mboten pinanggih ngakal yén
setunggaling ngalam saged ngelabeti kelawan kekiyatanipun piyambak. ‘Adam
ta’tsir bith-thob’i muhal ta’tsir
bith-thob’i, tegesipun mboten wonten setunggalipun ngalam ingkang saged
ngelabeti kelawan watekipun piyambak, mboten pinanggih ngakal yén setunggaling ngalam saged ngelabeti kelawan
watekipun piyambak. Hudutsul-‘alam biasrihi muhal qidamul-‘alam biasrihi,
tegesipun anyar sedodyonipun ngalam, mboten pinanggih ngakal yen sedoyo ngalam
dingin tanpo kawitan. Yaf’alul asy-yaa’a la lighordin muhal yaf-alul asy-yaa’a
lighordin, tegesipun gusti Alloh damel ing pinten-pineten perkawis mboten
wonten pengarahipun, mboten pinanggih ngakal yen gusti Alloh damel
pinten-pinten perkawis wonten pengarahipun.
Kulo nyumerapi sifat wajibipun poro Rosul. Dene
sifat wajibipun poro Rosul puniko wonten tigo, muhalipun wonten tigo. Rupinipun
sifat wajib tigo puniko : (1) shidiq, (2) amanah, (3) tabligh. Muhalipun inggih
tigo, rupinipun : (1) kidzib, (2) khiyanat, (3) kitman. Wajib shidiq muhal
kidzib, tegesipun mesti temen poro utusanipun gusti Alloh, mboten pinanggih
ngakal yén goroh poro utusanipun
gusti Alloh. Wajib amanah muhal khiyanat, tegesipun mesti pinercoyo poro
utusanipun gusti Alloh, mboten pinanggih ngakal yén cidro poro utusanipun gusti Alloh. Wajib
tabligh muhal kitman, tegesipun mesti nekaaké poro utusanipun gusti Alloh, mboten pinanggih ngakal yén ngumpet poro utusanipun gusti Alloh. Sifat
jaizipun poro Rosul puniko wonten setunggal, muhalipun jaiz ugi setunggal.
Rupinipun jaiz setunggal puniko : wenang ketetepan sifat a’rodlul basyariyyah,
tegesipun kenging-kenging kemawon poro Rosul ketetepan sifat bongso menungso,
kadosto : dahar, ngunjuk, kromo putro, tetindakan, tetumbasan, lujeng, gerah, sédo, lan sanés-sanés ipun. Muhal yén
poro Rosul ketetepan sifat uluhiyyah, tegesipun mboten pinanggih ngakal yén
poro Rosul keketepan sifat bongso kepengéranan, kadosto : damel ngalam kelawan mawi kekiyatanipun piyambak utawi
ngehaki dipun sembah.
Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ puniko nglebetaken iman sekawan. Inggih
meniko:(1)ngimanaken poro Nabi,(2) ngimanaken poro Malaikat, (3)
ngimanaken kitab bongso langit, (4) ngimanaken dino akhir.
Jumlahipun mu’taqod ingkang dipun wajib aken
nyumerapi saben-saben tiyang mukallaf puniko wonten séket utawi sewidak kalih,
inggih puniko sifat wajibipun gusti Alloh kalih doso, muhalipun inggih kalih
doso, jaizipun setunggal, muhalipun inggih setunggal, dados kalih. Kalih lan
sekawan doso wonten kawan doso kalih. Lah inggih puniko ingkang sa’jatosipun
sifat wajib, mustahil, jaizipun gusti Alloh. Sifat wajib ipun poro Rosul tigo,
muhalipun tigo, dados nenem, jaizipun setunggal, muhalipun jaiz setunggal, dados
kalih. Kalih lan nenem wonten walu. Lah inggih meniko ingkang sa’jatosipun
sifat wajib, mustahil, jaiz ipun poro Rosul. Walu lan sekawan doso kalih wonten
seket. Lah inggih meniko jumlahipun mu’taqod ingkang dipun wajib aken nyumerapi
saben-saben tiyang mukallaf wonten séket,
ingkang mlebet wonten pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله.
Sagedipun mlebet sewidak kalih kerono ngepangaken sifat jaizipun gusti Alloh
sekawan, muhalipun inggih sekawan. Sekawan lan sekawan wonten walu. Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهpuniko nglebetaken iman sekawan. Sekawan lan walu wonten kalih welas.
Kalih welas lan séket wonten sewidak kalih.
Lah inggih puniko jumlah ipun mu’taqod ingkang dipun wajibaken nyumerapi
saben-saben tiyang mukallaf ingkang sewidak kalih, ingkang mlebet wonten ing
pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله.
Sagedipun
mlebet krono ningali pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله,
ing ngriki wonten lafal Alloh ingkang asmanipun dzat ingkang ketetepan sifat
uluhiyyah. Sifat uluhiyyah anggadaih makna kalih: (1) istighnaul-ilaahi ‘an
kulli ma siwahu; tegesipiun semugieh Alloh, andoh saking saben-saben barang
kang sa’liyane Alloh. (2) iftiqoru kulli ma ‘adaahu ilaihi, tegesipun karepe
saben-saben barang kang sa’liyane Alloh, karep maring Alloh.
Ma siwahu puniko nggadaih ngibarot gangsal : (1)
ngibarot fa’il, (2) ngibarot mahal, (3) ngibarot maf’ul, (4) ngibarot mukammil,
(5) ngibarot wasithoh. Ma siwahu ingkang ngibarot fa’il nglebetaken mu’taqod
sifat wajibipun gusti Alloh kelima sigar, muhalipun inggih kelima sigar.
Rupinipun sifat wajib kelima sigar inggih puniko : (1) wujud, (2) qidam, (3)
baqo, (4) mukholafatu lil-hawaditsi, (5) qiyamuhu binafsihi. Sa’sigar inggih
puniko ingkang makna : la yaftaqiru ilal-faa’ili, tegesipun gusti Alloh mboten
karep dateng ingkang ndadeaken. Muhalipun : (1) ‘adam, (2) huduts, (3)
thuruwwul ‘adam, (4) mumatsalatu lil-hawaditsi, (5) al-la yakuna qoiman
binafsihi, sa’sigar ingkang makna yaftaqiru ilal-faa’ili. Kelima sigar lan
kelima sigar dados wonten songo. Ma siwahu ingkang ngibarot mahal nglebetaken
sifat wajib ipun gusti Alloh sa’sigar, muhalipun inggih sa’sigar. Rupinipun
mu’taqod sifat wajibipun gusti Alloh sa’sigar : qiyamuhu binafsihi, sa’sigar
ingkang makna la yaftaqiru ila mahallin, muhalipun sa’sigar ingkang makna
yaftaqiru ila mahallin. Sa’sigar lan sa’sigar dados wonten setunggal. Setunggal
lan songo dados wonten sedoso. Ma siwahu ingkang ngibarot maf’ul nglebetaken
sifat wajibipun gusti Alloh songo, muhalipun songo. Rupinipun sifat wajibipun
gusti Alloh songo inggih puniko : (1) wahdaniyyah, (2) qudrot, (3) irodat, (4)
‘ilmu, (5) hayat, (6) qodiron, (7) muridan, (8) ‘aliman, (9) hayyan. Muhalipun
: (1) al-la yakuna wahidan, (2) ‘ajzu, (3) ‘adamul irodat, (4) jahlu, (5) maut,
(6) ‘ajizan, (7) ghoiro muridin, (8) jahilan, (9) mayyitan. Songo lan songo
dados wonten walulas, lan sedoso dados walu likur. Ma siwahu ngibarot mukammmil
nglebetaken sifat wajibipun gusti Alloh nenem, muhalipun inggih nenem.
Rupinipun sifat wajibipun gusti Alloh nenem inggih puniko : (1) sama’, (2)
bashor, (3) kalam, (4) sami’an, (5) bashiron, (6) mutakalliman. Muhalipun : (1)
shomam, (2) ‘ama, (3) bakam, (4) shomman, (5) ‘amman, (6) bakiman. Nenem lan nenem wonten
kalih welas, lan walu likur dados wonten kawan doso. Ma siwahu ngibarot
wasithoh nglebetaken sifat jaizipun gusti Alloh setunggal, pangipun sekawan,
dados gangsal, muhalipun inggih gangsal. Rupinipun mu’taqod sifat jaiz ipun
gusti Alloh setunggal puniko fi’lu wa tarku. Pang ipun ‘adam ta’tsir
bil-quwwah, ‘adam ta’tsir bith-thob’i, hudutsul-‘alam biasrihi, yaf’alul
asy-ya’a la lighordin. Muhalipun wujubul fi’li wa tarki, ta’tsir bil-quwwah,
ta’tsir bith-thob’i, qidamul-‘alam biasrihi, yaf’alul asy-ya’a lighordin.
Gangsal lan gangsal dados sedoso. Sedoso lan kawan doso dados wonten séket. Lan inggih puniko mu’taqod seket ingkang
mlebet wonten ing pengucap لآ الهَ إِلاَّ الله.
Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهnglebetaken mu’taqod kalih welas. Sagedipun mlebet kerono ningali
pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله, tegesipun kanjeng nabi
Muhammad meniko dados utusanipun gusti Alloh. Ing mongko sedoyo utusanipun
gusti Alloh meniko kagungan sifat wajib tigo, muhalipun inggih tigo. Rupinipun
wajib tigo inggih puniko : (1) shidiq, (2) amanah, (3) tabligh. Muhalipun : (1)
kidzib, (2) khiyanat, (3) kitman. Jaizipun poro Rosul puniko wonten setunggal,
muhalipun jaiz inggih setunggal, wenang ketekanan sifat a’rodlul basyariyyah,
muhal ketekanan sifat uluhiyyah. Setunggal lan setunggal dados wonten kalih, kalih lan nenem dados wonten walu.
Pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله nglebetaken iman sekawan : (1) ngimanaken
poro nabi, (2) ngimanaken poro malaikat, (3) ngimanaken kitab bongso langit,
(4) ngimanaken dino akhir. Sekawan lan walu dados wonten kalih welas. Puniko
mu’taqod kalih welas ingkang mlebet wonten ing pengucap مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ الله.
Kalih welas lan seket wonten sewidak kalih. Lah inggih puniko jumlahipun
mu’taqod sewidak kalih ingkang dipun wajibaken nyumerapi saben-saben tiyang
mukallaf ingkang mlebet ing pengucap:
لآ الهَ إِلاَّ الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهُ
--
-- -- -- -- -- -- -- -- -- --
[1] Sekolah formal pada waktu itu yang hanya
sampai kelas tiga
[2]Santri yang mengaji
di Pondok, tapi tinggalnya tetap dirumah (tidak menetap di Pondok).