1. Seluruh Asma Allah adalah husna, artinya Maha Indah.
Firman Allah:
وَللهِ
اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah
kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu. (QS. Al A'raaf :180)
Asma Allah Maha Indah dan sempurna karena tidak
terkandung di dalamnya kekurangan sedikitpun, baik secara eksplisit maupun
implisit. Contohnya: العليم (Yang Maha Tahu) salah satu
asma Allah yang mengandung sifat 'ilmu' (pengetahuan) yang sempurna,
tidak didahului oleh sifat kebodohan dan tidak pula dihinggapi sifat
lupa.
Firman Allah:
قَالَ
عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي فِي كِتَابٍ لاَّيَضِلُّ رَبِّي وَلاَيَنسَى
Musa menjawab: "Pengetahuan tentang itu ada di
sisi Rabbku, di dalam sebuah kitab, Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula)
lupa; (QS. Thaha :52)
Ilmu pengetahuan Allah maha luas, meliputi segala
sesuatu, baik secara umum maupun rinci, berkenaan dengan perbuatan Allah I
sendiri maupun makhlukNya.
Firman Allah:
Firman Allah:
وَعِنْدَهُ
مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَيَعْلَمُهَآ إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَافِي
الْبَرِّوَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ يَعْلَمُهَا وَلاَحَبَّةٍ فِي
ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَرَطْبٍ وَلاَيَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مًّبِينٍ
Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib;
tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada
di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh). (QS Al An'aam:59)
Dan firman Allah:
وَمَامِن دَآبَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ
رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِين
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi
melainkan Allahlah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Huud:6)
Kedua ayat di atas memberikan penjelasan secara nyata
bahwa tidak ada sesuatupun di alam semesta ini yang terlepas dari ilmu Allah
yang Maha Luas dan tanpa batas. Itulah kesempurnaan dan keindahan ilmu Allah.
Demikian pula sifat-sifat Allah yang lainnya, semuanya indah dan sempurna.
2. Asma Allah adalah nama dan sifat.
Nama dipandang dari indikasinya (dalalah)
kepada dzat dan sifat dipandang dari indikasinya kepada makna. Dari pengertian
pertama, maka seluruh asma adalah mutaradif (sinonim), karena
indikasinya hanya kepada satu dzat, yaitu Allah, sedangkan dari pengertian
kedua, maka semua asma Allah adalah mutabayinah (diferensial), karena
setiap asma mempunyai indikasi (dalalah) makna yang tersendiri.
Contohnya:
الحي
العليم القدير السميع البصير الرحمن الرحيم
Semuanya adalah asma untuk satu Dzat, yaitu Allah.
Akan tetapi makna الحيي
tidak sama dengan makna العليم dan العليم tidak
sama dengan makna القدير
demikianlah seterusnya.
Asma Allah disebut nama dan sifat berdasarkan petunjuk
dari Al Quran, seperti firman Allah:
وَهُوَ
الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS Yunus: 107)
dan firman Allah:
وَرَبُّكَ
الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ
Dan RabbmulahYang Maha Pengampun, lagi mempunyai
rahmat.. (QS Al Kahf :58)
Ayat yang kedua dengan jelas menunjukkan bahwa Ar
Rahim yaitu yang mempunyai sifat rahmah.
Selain itu, berdasarkan konsensus para ahli bahasa dan
adat kebiasaan, bahwa tidak dikatakan 'alim kepada orang yang tidak
mempunyai ilmu, tidak dikatakan sami' kepada orang yang tidak mempunyai
pendengaran, tidak dikatakan bashir kepada orang yang tidak mempunyai
penglihatan, dan demikian pula seterusnya.
3. Asma Allah, jika menunjukkan pengertian transitif (muta'adii),
maka mengandung tiga hal:
Pertama: ketetapan
asma tersebut untuk Allah.
Kedua: ketetapan
sifat yang dikandung oleh Asma ini untuk Allah.
Ketiga: Ketetapan
hukumnya dan tuntutannya (objek) dari sifat tersebut.
Contoh nama السميع (Maha Mendengar),
mengandung ketetapan nama ini untuk Allah, ketetapan bahwa Allah mempunyai sifat
'sama' (mendengar), dan ketetapan hukum dan tuntutannya (objek), yaitu
segala bisikan dan kata-kata rahasia serta segala bunyi yang selalu didengar
oleh Allah, sebagaimana firmanNya:
وَاللهُ
يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَآ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu
berdua.Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al
Mujadilah:1)
Akan tetapi jika nama Allah menunjukkan makna
intransitif (lazim), maka hanya mengandung dua hal:
Pertama: ketetapan
nama tersebut untuk Allah.
Kedua: ketetapan
sifat yang dikandung oleh makna ini untuk Allah. Contoh: nama ' الحي '
(Yang Maha Hidup) mengandung ketetapan bahwa nama ini untuk Allah dan ketetapan
adanya sifat 'hayah' (hidup) bagiNya.
4. Asma Allah adalah tauqifiyyah, yaitu
berdasarkan pada wahyu, akan tidak mempunyai peran di dalamnya.
Oleh karena itu, dalam masalah asma` ini harus
berlandaskan Al Quran dan Sunnah yang shahih, tidak boleh ditambah ataupun
dikurangi, karena akal saja tidak mungkin dapat mengetahui asma yang dimiliki
oleh Allah. Untuk itu wajib berpijak kepada nash. Firman Allah:
وَلاَتَقْفُ
مَالَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al Isra: 36)
Selain itu, memberikan nama kepada Allah dengan asma`
yang tidak ditetapkan oleh Allah bagi diriNya sendiri, atau mengingkari Asma
Allah adalah pelanggaran terhadap hak Allah. Maka, wajiblah berlaku sopan dalam
masalah ini dan cukup dengan mengikuti apa yang datang dari nash.
5. Asma Allah tidak terbatas pada bilangan tertentu, berdasarkan sabda Rasulullah:
مَا أَصَابَ
مُسْلِمًا قَطُّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ فَقَالَ اللّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَاْبنُ
أَمَتِكَ نَاصِيَتِي فِى يَدِكَ مَاٍض فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاءُكَ
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ
أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ
اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ
رَبِيْعَ قَلْبِي وَجلاَءَ حُزْنِي وَذهَابَ هَمِّي إِلاَّ أَذْهَبَ اللهُ هَمَّهُ
وَأَبْدَلَهُ مَكَانَ حُزْنِهِ فَرَحًا
'Tidak ada duka cita dan kesedihan yang menimpa
seorang muslim, lalu ia membaca: 'Ya Allah sesungguhnya aku adalah hambaMu dan
putra dari jariyahMu, ubun-ubunku berada di tanganMu, berlaku padaku hukumMu,
sangat adil padaku keputusanMu, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asmaMu,
yang telah Engkau namakan untuk diriMu, atau Engkau turunkan dalam
kitabMu, atau engkau ajarkan kepada seseorang di antara makhlukMu, atau
masih dalam rahasia gaib padaMu, yang hanya Engkau sendiri yang mengetahuinya,
agar Engkau jadikan Al Quran sebagai penyejuk hatiku, pembersih sakit hatiku,
dan penghapus kesedihanku,' melainkan Allah menghilangkan kesedihan hatinya dan
menggantikan tempat duka citanya menjadi kebahagiaan.'
Dia menjadikan asmaNya menjadi tiga bagian:
1. Nama yang Dia berikan untuk
dirinya dan Dia beritahukan kepada para malaikatNya atau yang lainnya, namun
nama-namaNya tidak disebutkan dalam kitabNya.
2. Dia menurunkan nama itu dalam
kitabNya dan memberitahukan kepada hamba-hambaNya.
3. Yang menjadi rahasia gaib
padanya dan hanya Dia sendiri yang mengetahuinya, tidak ada seorangpun di
antara makhluk yang mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi bersabda: "Ista`tsarta
bihi" artinya hanya Engkau yang mengetahuinya. Dan berdasarkan ini
Nabi r bersabda dalam hadits syafaat:
فَيُفْتَحُ
عَلَيَّ مِنْ مَحَامِدِهِ بِمَا لاَ أُحْسِنُهُ اْلآنَ
"Maka dibuka kepadaku (untuk mengungkapkan)
segala pujian kepadaNya dengan pujian yang tidak bisa saya ungkapkan dengan
baik di sini (di dunia)."
Dan dalam hadits yang lain:
لاَ
أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
Adapun hadits yang berbunyi:
إِنَّ
ِللهِ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ اسْمًا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدَةً مَنْ أَحْصَاهَا
َدخَلَ الْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barangsiapa yang
dapat menghitungnya niscaya ia masuk ke dalam surga."
Yang dimaksud dengan menghitung asma Allah ialah
menghapalnya, memahaminya maknanya, dan menghamba kepada Allah berdasarkan
asma-Nya. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa asma Allah hanya 99 saja. Adapun
makna hadits yang berbunyi "barangsiapa yang dapat menghitungnya
niscaya ia masuk ke dalam surga" merupakan kalimat pelengkap, bukan
kalimat terpisah dan berdiri sendiri. Sebagai contoh: bila seseorang berkata:
'Saya mempunyai uang Rp. 100.000.000 yang saya siapkan untuk sedekah', berarti
bisa saja ia mempunyai uang selain RP. 100.000.000 yang disiapkan untuk
berbagai macam keperluan lainnya. Adapun yang berkenaan dengan penyusunan dan
penentuan jumlah asma` Allah I, maka hadits tersebut adalah dha`if (lemah) jadi
tidak bisa menjadi hujjah.
6. Ilhad (mengingkari) asma Allah ialah
tindakan menyelewengkan asma` dari kebenaran yang wajib dilaksanakan
terhadapnya.
Macam-macam ilhad:
a. Mengingkari sesuatu dari asma
Allah, sifat dan hukum yang terkandung di dalamnya. Seperti tindakan kaum Jahmiyah
dan golongan lain dari ahli ta'thil. Menurut mereka, sesungguhnya
asma` adalah lafazh yang kosong, tidak mengandung sifat dan makna. Mereka
memberikan nama kepadaNya as-Sami`, al-Bashir, al-Hayy, ar-Rahim,
al-Mutakallim, dan al-Murid. Namun mereka mengatakan: Tiada kehidupan
bagiNya, tiada pendengaran, tiada penglihatan, tiada perkataan, tiada kehendak
yang berdiri denganNya. Ini adalah ilhad paling besar pada asma`, baik
secara akal, syara`, bahasa, dan fithrah.
b. Menjadikan asma` Allah mempunyai
indikasi (dalalah) yang serupa dengan sifat makhluk. Seperti tindakan ahlu
tasybih (antropomorphism). Golongan ini adalah kebalikan dari golongan
pertama yang mengingkari sifat Allah dan menolak sifat kesempurnaanNya.
c. Menamai Allah dengan nama yang tidak
disebutkanNya untuk diriNya dan tidak disebutkan oleh RasulNya dalam hadits
yang shahih. Seperti tindakan kaum Nasrani yang menamaiNya 'Bapa' dan tindakan filosof
yang menyebutNya 'Al`ilah al-Fa`ilah' (Efficient Cause). Karena Asma`
Allah adalah tauqifiyah, maka menamai Allah yang bukan berasal dari
Allah atau dari RasulNya, berarti menyelewengkan Asma Allah dari kebenaran.
d. Mengambil dari Asma Allah nama
untuk berhala. Seperti tindakan kaum musyrikin yang menamai berhala mereka
dengan nama al-'Uzza berasal dari al-'Aziz dan berhala al-Laatal-Ilah.
yang berasal dari
Ilhad dengan segala
macamnya adalah haram, karena Allah mengancam orang yang berbuat ilhad
dengan firmanNya:
وَللهِ
اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي
أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ
Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A'raaf : 180)
e. MensifatiNya dengan sifat yang
Dia Maha Besar dan Maha Suci dari sifat kekurangan, seperti perkataan Yahudi
yang paling jahat: "Innahu faqiir (bahwasanya Dia fakir) dan
perkataan mereka bahwa Dia beristirahat setelah menciptakan makhlukNya. Dan
perkataan mereka:
يَدُ
اللهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا
Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan
merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah
mereka katakan itu. (QS. Al-Maidah:64)
Dan perkataan-perkataan serupa dengan itu termasuk ilhad
pada Asma` dan sifat Allah.
7. Dilalah Asmaul Husna.
Seluruh asma` Allah adalah husna, artinya Maha Indah
dan semuanya menunjukkan kesempurnaan dan pujian yang absolut. Seluruhnya
diambil dari sifat-sifat-Nya. Maka sifat yang ada padanya tidak menafikan 'alamiyah
(nama) dan 'alamiyah tidak menafikan sifat, dan dilalahnya
(indikasinya) ada tiga:
a. Dilaalah muthabaqah (adekusi),
ketika kita tafsirkan nama dengan seluruh yang ditunjukkannya.
b. Dilaalah tadhamun
(inklusi), ketika kita tafsirkan dengan sebagian yang ditunjukkannya.
c. Dan dilaalah iltizam
(konsekuensi), ketika kita menunjukkannya atas yang lainnya dari asma`
(nama-nama) sebagai konsekuensi nama ini atas nama-nama yang lain.
Misalnya: ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), yang
menunjukkan adanya sifat rahmah dan Dzat adalah dilaalah muthabaqah (adekusi),
dan atas salah satunya adalah dilaalah tadhamun (inklusi) karena ia
termasuk dalam kandungannya. Dan indikasinya atas Asma`yang tidak didapatkan
sifat rahmat kecuali dengan tetapnya Asma` tersebut, seperti hayat (hidup),
ilmu (pengetahuan) iradah (kehendak), qudrat (kekuasaan) dan yang lainnya
adalah dilaalah iltizam (konsekuensi). Bagian yang terakhir ini
memerlukan pemikiran yang kuat dan perenungan. Para ahli ilmu berbeda pendapat
dalam hal ini. Maka jalan untuk mengenalnya adalah ketika anda memahami lafazh
(kata) dan makna yang terkandung di dalamnya dan anda memahaminya dengan baik,
maka pikirkan maknanya yang tidak akan sempurna tanpa makna tersebut.
8. Asma Allah dan sifat-sifatNya hanya untukNya, dan
persamaan nama tidak menunjukkan persamaan yang diberi nama.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Allah
menamakan diriNya dengan beberapa nama dan menamai sifat-sifatNya dengan
beberapa nama. Apabila Asma tersebut diidhafahkan (disandarkan)
kepadaNya maka asma itu hanya untukNya, tiada sesuatupun yang menyekutuiNya
pada sifat itu. Dia juga memberi nama kepada sebagian makhlukNya dengan
beberapa nama yang hanya untuk mereka. Persamaan nama tidak menunjukkan
persamaan yang diberi nama. Allah menamai diriNya Hayy (Yang Maha
Hidup) dalam firmanNya:
اللهُ
لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhlukNya); (QS. Al Baqarah :255)
Dan Dia memberi nama kepada sebagian hambaNya Hayy (yang hidup) dalam
firmanNya:
يُخْرِجُ
الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ
Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup (QS. Ar Ruum:19)
Pengertian al-Hayy (yang hidup) dalam surah
ar-Rumm ini tidak seperti pengertian al-Hayy (Yang Maha Hidup) dalam
surah al-Baqarah yang disebutkan sebelumnya.
Dalam ayat lain, Allah menamakan diriNya 'Aliim, Haliim (Yang Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun), dan Dia memberikan nama kepada sebagian hambaNya dengan nama 'Aliim, seperti dalam firmanNya:
وَبَشَّرُوهُ
بِغُلاَمٍ عَلِيمٍ
dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan
kelahiran seorang anak yang alim (Ishak). (QS. Adz Dzariyaat :28)
Maksudnya: Nabi Ishaq. Sebagaimana Dia juga menamai
yang lain Halim, seperti dalam firmanNya:
فَبَشَّرْنَاهُ
بِغُلاَمٍ حَلِيمٍ
Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak
yang amat sabar. (QS. Ash-Shaaffaat :101)
Maksudnya: Ismail. 'Aliim dalam ayat di atas
bukan seperti al-'Alim yang merupakan asma` Allah, dan Halim
dalam ayat di atas bukan seperti pengertian al-Halim yang merupakan
salah satu dari asma Allah.
Dan Allah menamakan diri-Nya Samii' dan Bashiir
dalam firman-Nya:
إِنَّ
اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا
يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisaa`:58)
Dan Dia menamai sebagian makhluk-Nya dengan nama
'samii' dan bashir' dalam firmanNya:
إِنَّا
خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ
سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari
setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan
larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.
(QS. Al-Insaan :2)
As-Samii' dalam ayat ini
bukan seperti as-Samii' yang merupakan salah satu dari asma` Allah yang
disebutkan dalam ayat sebelumnya. Demikian pula al-bashiir dalam ayat
ini tidak sama pengertiannya dengan al-Bashiir yang merupakan salah satu
asma` Allah I yang dalam surah an-Nisaa` yang disebutkan sebelumnya.
Dia menamai diri-Nya dengan nama ar-Ra`uf dan ar-Rahim, seperti dalam firman-Nya:
إِنَّ
اللهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفُُ رَّحِيمُُ
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
kepada manusia. (QS. Al-Baqarah:143)
Dan Dia memberi nama kepada sebagian makhluk-Nya dengan nama ar-Ra`uf ar-Rahim dalam firmanNya:
لَقَدْ
جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari
kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mu'min. (QS. At-Taubah:128)
Sifat ar-Ra`uf pada ayat sebelumnya tidak seperti
sifat ra`uf pada ayat ini, dan sifat Rahimrahim para ayat ini.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: 'Nama-nama yang digunakan kepada Allah I dan kepada hamba, seperti al-Hayy, as-Samii', al-Bashiir, al-'Aliim, al-Qadiir dan yang semisalnya, ada tiga golongan dalam memandangnya:
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: 'Nama-nama yang digunakan kepada Allah I dan kepada hamba, seperti al-Hayy, as-Samii', al-Bashiir, al-'Aliim, al-Qadiir dan yang semisalnya, ada tiga golongan dalam memandangnya:
a. Segolongan dari
mutakallimin berkata: ia adalah hakikat pada hamba dan majaaz pada Rabb. Ini
adalah pendapat kaum Jahmiyah yang ekstrim. Ini adalah ucapan yang paling keji
dan paling merusak.
b. Pendapat sebaliknya, nama-nama
itu adalah hakikat pada Rabb, majaaz pada Rabb. Ini adalah pendapat Abul-Abbas
an-Naasyi.
c. Sesungguhnya nama-nama itu adalah
hakikat pada Rabb dan hamba, dan inilah pendapat ahlus-sunnah. Perbedaan dua
hakikat pada keduanya tidak mengeluarkannya dari kondisinya yang merupakan
hakekat pada keduanya. Bagi Rabb dari nama-nama itu yang sesuai dengan
kebesaran-Nya, dan bagi hamba dari nama itu yang sesuai dengan kapasitasnya
sebagai hamba.
9. Urutan menjaga (menghapal, memahami dan
mengamalkan) Asma Allah Yang Maha Indah. Barangsiapa yang menjaganya niscaya
masuk surga.
Ini adalah keterangan penghapalan asmaNya 'barangsiapa
yang menghapalnya niscaya masuk surga'.
Pertama: menghapal lafazh dan bilangannya.
Kedua : Memahami makna dan yang diindikasikannya.
Ketiga: Berdoa dengannya, seperti firman Allah:
وَللهِ
اْلأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah
kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu. (QS. Al A'raaf:180)
Terdapat dua martabat: pertama, adalah memuji dan
beribadah. Kedua, do'a meminta dan memohon. Dia tidak dipuji kecuali dengan
asmaNya Yang Husna dan SifatNya Yang Maha Tinggi. Demikian pula Dia tidak
diminta kecuali dengannya. Tidak boleh berdo'a dengan kata-kata: 'Hai yang ada
(maujud), hai sesuatu, atau hai Dzat ampuni dan kasihilah aku'. Tetapi Dia
diminta dengan nama yang sesuai dengan permintaan. Yang Berdo'a bertawassul
kepadaNya dengan nama itu. Siapa yang memikirkan do'a para rasul, apabila doa
Nabi Muhammad, ia akan mendapatkan doa-doa tersebut sesuai dengan penjelasan di
atas.
Kita memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing kita kepada cahayaNya dan memudahkan jalan bagi kita untuk mendapatkan keridhaanNya, sesungguhnya Dia sangat dekat dan Maha Mengabulkan doa hambaNya.
Kita memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing kita kepada cahayaNya dan memudahkan jalan bagi kita untuk mendapatkan keridhaanNya, sesungguhnya Dia sangat dekat dan Maha Mengabulkan doa hambaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar